“Ril … Nuril, sadarlah … Ril …!”
Nadya sedang mengguncang-guncang tubuh Nuril yang sedang tak sadarkan diri di atas sebuah altar batu yang hitam mengkilat akibat tetesan air dari akar-akar pepohonan ketika Mbah Sengkolo dan Pak Jumadi datang menghampirinya.
Sementara di sebelah tubuh Nuril yang lemas tanpa daya, teronggok tulang belulang manusia yang masih utuh lengkap dengan pakaian yang masih membalutnya. Selembar kain jarit dengan warna yang sudah pudar, menutupi bagian bawah kerangka itu dari atas lutut hingga ke bagian perut. Sedang di bagian atasnya ada sebentuk kemben coklat menutupi dada lengkap dengan kebaya kuthu baru sebagai pelapisnya.
Perlahan Mbah Sengkolo melepas udeng yang menghiasi kepalanya. Udeng itu kemudia ia bentangkan di atas tanah. Aneh! Udeng yang saat masih melingkar di kepala terlihat seperti yak seberapa luasnya, kini saat terbentang di atas tanah basah menjadi cukup lebar. Lebih kurang ukurannya menjadi 1 meter persegi.
“Cepat, angkat dan letakkan kerangka itu di atas udeng ini!” perintah Mbah Sengkolo.
Meski merasa takut dan ngeri, tentu saja Pak Jumadi tak berani menolak perintah lelaki ubanan itu. Dengan tubuh gemetar, Pak Jumadi mengumpulkan kerangka itu kemudian perlahan-lahan ia angkat dan ia letakkan di atas udeng yang sudah terbentang.
“Untuk apa kerangka ini, Mbah?” tanya Pak Jumadi saat tugasnya selesai.
“Kita bawa pulang dan kita serahkan pada warga Bedengan agar dikuburkan secara layak.”
“Memangnya siapa dia, Mbah?”
“Dia adalah gadis pemetik kopi yang menjadi korban kebiadaban mandor kompeni pada jaman penjahan Belanda dulu. Arwah gadis pemetik teh inilah yang selama ini sering mencelakakan pengguna jalan yang melintas di tanjakan Kenaren ini.” Mbah Sengkolo menjelaskan seraya membungkus tulang belulang itu.
“Tapi Mbah ….”
“Sudah, jangan banyak tanya lagi. Bantu saja gadis itu menyadarkan temannya. Aku harus membantu Aki Komar melawan Mbah Gendon.”
Selesai berkata seperti itu, Mbah Sengkolo langsung melompat ke sisi barat altar batu. Tak jauh dari mereka Aki Komar tengah berduel dengan sengit melawan Mbah Gendon yang ngotot hendak membawa Nuril kea lam kegelapan.
Di tengah suasana lembah yang lengang dan mengerikan, di sudut lain lembah itu, Aki Komar sedang berhadapan dengan Mbah Gendon. Dengan gerakan gesit mereka saling menghujamkan senjata. Keris Branjang Mukti senjata sakti milik Mbah Gendon berkelebat ke sana ke mari, berusaha menusuk bagian-bagian mematikan dari tubuh Aki Komar yang selalu saja mampu berkelit dengan lincah.
Dengan lompatan-lompatan bertenaga, Aki Komar berhasil menangkis serangan maut dari Mbah Gendon yang begitu bernafsu untuk membunuhnya itu. Sesekali ia balas mengayunkan tombak kuningnya untuk melumpuhkan lawan, tapi Mbah Gendon juga selalu berhasil mengadakan perlawanan yang cukup membahayakan.
“Hiaaatt!” Dengan keris terhunus, Mbah Gendon melompat tinggi-tinggi. Dengan gerakan salto di udara ia bermaksud menusukkan kerisnya ke kepala Aki Komar.
Sesaat Aki Komar terkesiap. Dengan mengerahkan ajian saipi angin ia melompat ringan menghindari maut sembari tersenyum. Namun, seketika senyumnya memudar kala ia membalikkan tubuh dan mendapati sosok lelaki renta yang sudah berdiri tepat di belakangnya dengan keris terhunus.
Deg! Dengan cepat sosok itu terbang semakin tinggi ketika Aki Komar melakukan gerakan tusukan beruntun. Sejurus kemudian, sosok itu sudah berada tepat di depan wajah Aki Komar dengan keris tertuju ke pangkal lehernya.
“Awas, Aki Komar!” teriak Mbah Sengkolo.