Tepat ketika adzan Magrib berkumandang, Mbah Sengkolo, Aki Komar, dan Nadya telah berhasil membawa naik tubuh Nuril yang masih lemas tanpa daya meskipun perjalanan ke atas itu bukanlah perkara mudah. Betapa enggak! Akibat membawa serta kerangka gadis pemetik kopi yang mereka temukan, sepanjang perjalanan muncullah berbagai makhluk gaib penghuni alam kegelapan yang mencoba menggagalkan upaya mereka.
Sepertinya kawanan setan pada tak rela jika kerangka gadis pemetik kopi itu sampai dikebumikan secara layak. Potongan tangan-tangan rusak yang bernyawa terus saja menyerang kaki-kaki mereka dengan kuku-kuku tajamnya. Tangan-tangan yang sudah hampir tak berbentuk lagi itu menyembul tiba-tiba dari dalam tanah dan langsung mencengkeram serta mencakar keempat kaki mereka.
Bahkan beberapa tangan setan sempat menarik paksa buntalan kerangka yang dibopong Pak Jumadi hingga nyaris terebut secara paksa. Untunglah Mbah Sengkolo dan Aki Komar dengan sigap menaburkan beras kuning campur irisan daun pandan. Seketika tangan-tangan setan itu terbakar dan lenyap.
Begitu pula berbagai rupa kepala seram yang coba menghadang. Semua dapat dihadapi oleh Mbah Sengkolo dan Aki Komar dengan tenang.
Perjuangan paling berat justru dirasakan oleh Nadya yang berjalan sambil memapah tubuh Nuril yang lemas tanpa daya. Berulang kali tangan bernyawa dan kepala-kepala seram berupaya merebutnya sehingga Nadya harus jatuh bangun sepanjang langkah. Bahkan pernah sekali, tubuh Nuril terlepas dan melorot turun dengan deras. Tapi untunglah belum sampai kembali ke dasar jurang. Tubuh Nuril tersangkut pada sebuah batang pohon yang telah tumbang.
“Pak Kamituwo, tolong urus kerangka gadis pemetik kopi ini agar besok bisa kita kuburkan dengan layak. Sekarang kami harus bergegas menolong gadis ini agar selamat dari cengkeraman makhluk gaib penunggu tanjakan Kenaren,” ujar Aki Komar sembari menunjuk Nuril yang masih dipapah oleh Nadya.
“Kalau begitu sebaiknya kita ke rumah Pak Riyanto saja yang terdekat agar kita bisa segera mengurus semuanya,” usul Bapak Kamituwo.
“Untuk Pak Jumadi, sumonggo bagaimana baiknya saja. Mau langsung pulang ke Sirah Kencong ya silakan, mau tetap di sini dulu ya silakan juga.” Kali ini Mbah Sengkolo yang buka suara.
“Saya tetap di sini dulu saja, Mbah. Ada banyak hal yang ingin saya obrolkan dengan keponakan saya, Toni,” sahut Pak Jumadi.
“Baguslah kalau begitu. Mari kita bergegas!” ajak Bapak Kamituwo.
Tanpa diperintah, Toni, Dandy, dan Rudy segera mengambil alih tugas Nadya. Tubuh Nuril yang masih lemah mereka gotong bersama-sama. Sedang Aki Komar, kini menenteng buntalan kerangka yang tadinya dibawa oleh Pak Jumadi.
Diiringi gerimis yang belum juga henti membasahi bumi, mereka melangkah pergi meninggalkan tanjakan Kenaren yang semakin banyak menyimpan misteri. Jalan yang sebagian besar tertutup tanah longsoran itu masih saja terlihat angker. Dari balik kabut tebal yang menyelimuti sesekali masih juga terdengar jeritan-jeritan menyayat hati yang terlontar dari para penghuni alam kegelapan yang sedang tersakiti.
***
Esok harinya.
Saat sebagian warga sedang bergotong-royong memperbaiki jalan tanjakan Kenaren yang tertimbun longsoran tanah dan aneka pepohonan, Toni dan teman-temannya ikut rombongan Aki Komar mengubur kerangka gadis pemetik kopi di bawah pohon Bendo raksasa yang ada di dasar jurang sisi utara.