Tengah hari, matahari tetap tak menampakkan diri sehingga kabut masih setia menyelimuti desa Bedengan. Mendung hitam yang sedari tadi memayungi bumi belum juga berubah menjadi titik-titik air yang menyegarkan. Akibatnya desa Bedengan masih saja terlihat suram.
“Maaf ya Paman, saya tidak jadi mampir ke Sirah Kencong. Seperti saran Mbah Sengkolo dan Aki Komar setelah ini saya langsung mengantar Nuril ke dukuh Kromasan agar dia cepat sadar kembali. Bagaimana pun sekarang dia menjadi tanggung jawab saya,” kata Toni ketika semua temannya sudah bersiap di dalam mobil.
“Iya Ton, gak apa-apa. Ini situasi mendesak. Keselamatan pacarmu itu lebih penting,” sahut Pak Jumadi.
“Terima kasih, Paman.”
“Sama-sama. Salam untuk bapak dan ibumu, ya.”
Toni mengangguk sambil tersenyum. Pak Jumadi melangkah menghampiri warga yang sudah bersiap membantu mendorong mobil saat nanti sampai di tanjakan Kenaren. Maklum setelah hujan badai dan longsor kemarin, tanjakan curam itu telah berubah mirip area kubangan kerbau. Besar kemungkinan roda kendaraan akan terperosok hingga setengah bagian.
“Nadya, kau bawalah gembolan ini. Nanti ketika kalian sudah sampai di jembatan kecil di perkebunan Sengon, buka dan taburkan isinya ke aliran sungai Genjong supaya aura gaib yang selama ini mengganggu kalian tidak terus mengikuti ke mana kalian pergi.” Mbah Sengkolo memberikan sebuah gembolan berbungkus kain hitam yang hanya sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Baik, Mbah. Terima kasih.” Nadya tersenyum sambil menerima gembolan itu. Seketika bau wangi meruar di dalam mobil dengan aroma bunga kantil yang mendominasi.
“Baiklah, mumpung belum turun hujan sebaiknya kalian segera berangkat agar tidak sampai kesorean tiba di dukuh Kromasan.” Kali ini Aki Komar yang memberikan saran.
Semua yang ada di dalam mobil menjawab serentak.
“Baik, Mbah.”
Klik! Toni memutar kunci mobil dan langsung terdengar bunyi, greeng … sebagai tanda mesin telah menyala. Di iringi lambaian tangan dari Mbah Sengkolo, Aki Komar, dan keluarga Pak Riyanto, mobil itu mulai melaju dengan pelan diikuti sepuluh warga yang akan membantu mendorong di tanjakan Kenaren.
Bagi Toni yang terbiasa bermobil di jalanan beraspal mulus tentu saja melintas di jalan becek dan berlumpur yang kondisinya bergelombang bukanlah perkara mudah. Begitu mobil mulai memasuki turunan Kenaren yang curam, rasa was-was dan berdebar mulai ia rasakan.
Toni memusatkan pandangan lurus ke depan. Ia tak berani melirik ke kanan jalan. Jurang menganga yang kini dipenuhi pepohonan yang malang melintang tak karuan akibat longsor membuatnya merinding. Aura mistis masih begitu terasa. Banyaknya makhluk gaib yang mendiami wilayah Kenaren menjadikan jalan itu terasa sangat wingit.
Tepat ketika mobil itu sampai di sisi pohon kluwih, tempat mobil mereka macet dulu, hal serupa terulang kembali. Kini keempat roda mobil ambles ke dalam lumpur hingga setengahnya. Dijalankan dengan gas kecil, mobil tak mau bergerak. Pedal gas diinjak kencang, mobil hanya meraung dan membuat roda makin terbenam.
Sepuluh warga yang sedari tadi mengiringi mobil itu langsung memberikan pertolongan. Warga beramai-ramai mendorongnya. Namun, hingga nyaris habis tenaga mereka, mobil belum bisa maju sedikit pun.
Kini Rudi dan Dandi turun dari mobil dan berbaur dengan warga. Kembali mereka mendorong bersama-sama. Tapi tetap saja tak membuahkan hasil. Mobil masih tak mau bergerak. Seolah ada satu kekuatan besar yang sengaja menahan mobil itu. Semua hanya bisa mengangkat bahu dengan wajah murung.
“Bagaimana ini, Nad?” Toni bertanya sambil menoleh ke jok belakang.
“Semoga gembolan berbungkus kain hitam pemberian Mbah Sengkolo ini bisa membantu kita,” sahut Nadya penuh harap. Harapan indah agar mendapat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Toni mengangguk. Perlahan Nadya memindah kepala Nuril yang sedari tadi bersandar di lengannya. Dengan hati-hati disandarkannya kepala gadis yang masih terkulai lemas itu pada sandaran jok mobil.
Hap! Nadya melompat turun. Astaga! Nadya terperanjat bukan kepalang saat matanya melihat bagian bawah mobil. Betapa tidak! Dalam pandang matanya ia dapat melihat dengan jelas adanya tangan-tangan setan yang penuh borok bernanah sedang menahan mobil itu dari dalam tanah. Ada juga sesosok makhluk hitam tinggi besar dan berwajah seram sedang duduk di atas kap mobil. Pantas saja jika tidak ada orang yang mampu mendorongnya.
“Maaf Bapak-Bapak, silakan agak mundur sedikit dari mobil!” kata Nadya dengan sikap santun.
Perlahan semua orang yang tadi dalam posisi mendorong mobil, pada melepaskan tangan dan agak menjauh. Dengan hati-hati Nadya membuka tali pengikat di bagian atas dari gembolan berbungkus kain hitam yang dipegangnya. Sambil menatap tajam ke mobil, ia merogoh sebagian isi dari gembolan yang berbentuk kantong kecil itu. Sambil membaca doa-doa permohonan keselamatan dari Tuhan, ia mengelilingi mobil seraya menaburkan isi gembolan yang telah ia ambil.