SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #33

SAMBUTAN KELAM

Matahari sudah agak condong ke barat ketika mobil dikemudikan Toni mulai memasuki kota kecamatan Wlingi. Suasana yang cukup ramai bisa sedikit mengurangi ketegangan urat syaraf selama terjebak dunia mistis di kampung Bedengan. Mereka bisa merasa sedikit bernapas lega. Toni sengaja membuka semua kaca jendela mobilnya supaya teman-temannya bisa menikmati keramaian.

Dua ratus meter lepas dari kantor kecamatan Wlingi, sesuai petunjuk arah yang terpajang di tepian jalan, Toni membelokkan mobil ke kiri. Menyusuri jalan beraspal yang membelah desa Kenongo.

Setelah melewati deretan rumah warga sepanjang kurang lebih satu kilometer, kini perjalanan mereka mulai memasuki area persawahan. Seketika udara segar merambati rongga dada mereka. Hamparan sawah yang menghijau memberikan nuansa sejuk di mata mereka yang kini terbuka lebar. Hanya Nuril yang masih terpejam lunglai.

Sementara itu di pinggiran jalan di area persawahan yang sama, Panjali yang sudah selama lima bulan ini bekerja di rumah Bapak Kepala Dukuh sebagai pencari rumput untuk tiga ekor sapi, tampak sedang menata sekeranjang rumput di jok motor butut. Ia berusaha mengikat kuat-kuat keranjang penuh rumput itu ke sadel belakang motornya dengan sebuah tali karet.

Sekujur tubuhnya nampak bermandikan keringat. Sebentuk topi using yang menutupi bagian atas kepalanya seakan tak kuasa menahan sengatan matahari yang terik sepanjang hari.

Tanpa ia duga, dari arah kanan muncul sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melintas di sampingnya. Tak sempat ia menghindar dari siraman sisa air hujan yang menggenang di tengah jalan karena mobil sialan itu. Secepat kilat terdengar jeritan rem yang melengking, lalu diam. 

“Busyett!” teriak Panjali mangkel. 

Ternyata mobil itu berhenti tak jauh dari tempatnya. Keluarlah seorang gadis dengan rambut hitam berombak, mengenakan celana sebatas lutut dengan T-Shirt warna ungu. Wajahnya putih bercahaya. Sehingga tampak kontras dengan pakaian yang di kenakannya. Cahaya matahari yang kian condong ke barat membuatnya kian nampak cantik memikat. Sayang hati Panjali sedang dongkol hingga tak sempat memberi penilaian sedikit pun. 

“Apa kau bilang?!” seru Nadya seraya berjalan mendekati Panjali. 

“Busyet, ngebut tak tahu aturan,” sahut Panjali sambil mengibas-ngibaskan kemeja dan celananya yang basah. 

“Salahnya, nongkrong di situ,” kata Nadya dengan senyum sinis. 

“Itu kan, hakku!” bantah Panjali ketus. 

“Aku juga berhak ngebut.” 

“Tapi kau, sialan.” 

“Aku?” 

“Ya.”

“Kenapa?” 

“Lihat nih, pakaianku basah kuyub dan rumputku jadi kotor semua.” 

“Mana aku tahu …?” 

“Ini kan perbuatanmu, tolol!” 

“Kau sendiri yang tolol, ngapain berdiri di pinggir jalan.”  

“Itukan urusanku.” 

“Aku ngebut juga urusanku, ngapain kau usil?” 

“Kaulah yang usil, bego!” 

“Kau sendiri. Sinting!” 

“Dasar cewek senewen, sudah berbuat salah, ngotot lagi.” 

“Siapa yang berbuat salah?” 

“Kau!”

“Bukan aku, dia yang berbuat!” jawab Nadya seraya menuding roda mobilnya. Jawaban yang disambut tawa cekikikan oleh teman-temannya yang ada di dalam mobil.

“Dasar babi edan!” kutuk Panjali. 

Lihat selengkapnya