Hari menjelang Magrib. Panjali masih sibuk di kandang sapi Bapak Kepala Dukuh yang sekarang jadi majikannya itu. Rumput hasil sabitannya tadi siang, ia bagi rata pada tiga tempat makan sapi-sapi itu. Tak lupa ia juga mengisi air di tiga ember untuk minum ketiga sapi itu.
Setelahnya ia mengumpulan jerami kering dari sisa-sisa makan ketiga sapi itu kemudian ia letakkan pada satu tempat yang tak begitu jauh dari kandang. Dengan sebatang korek api ia bakar sisa-sisa jerami itu. Hal ini selain untuk kebersihan kandang sekaligus sebagai sarana mengusir nyamuk yang sering mengganggu jam istirahat ketiga sapinya.
Sepuluh menit setelah adzan Magrib berlalu, anak sulung Bapak Kepala Dukuh datang menghampirinya.
“Kang Panjali, dipanggil Bapak di ruang tamu,” kata anak laki-laki kelas 2 SMP itu.
Panjali mengangguk sambil tersenyum. Anak itupun kembali masuk rumah. Perlahan Panjali mencuci tangan dengan air berwadah sebuah gentong yang diberi lubang berpenutup di bagian samping bawah.
Krraaook! Krraaookk!
Terdengar jeritan burung gagak dari jarak yang cukup dekat. Panjali tercekat. Sudah agak lama ia tak mendengar suara burung gagak di desanya ini. Tepatnya setelah terror Sitinggil yang sempat merenggut beberapa korban waktu itu. Kok tiba-tiba hari ini, suara gagak itu terdengar lagi. Mungkinkah tragedi berdarah itu akan terulang kembali?
Akh! Tidak! Panjali tak berani berandai-andai lagi. Mengingat dari setiap kejadian mistis yang terjadi di dukuh Kromasan ini selalu saja melibatkan Gayatri di dalamnya. Ia tak mau terjadi hal-hal buruk atas diri kekasih tercintanya itu.
Sejenak Panjali celingak-celinguk mencari keberadaan burung gagak itu. Tiga pohon rambutan yang ada di belakang rumah sang majikan itu ia perhatikan. Tapi sepertinya burung setan tersebut tidak ada di sana. Kemudian matanya beralih pada penutup kandang sapi yang terbuat dari anyaman jerami. Benar saja! Nampak sebentuk kepala hitam dengan paruh bengkok dan runcing serta sepasang mata yang tajam sedang bertengger di atas atap kandang.
“Hussah! Hussah!” Panjali berusaha mengusir burung gagak itu. Namun burung itu seakan tak memedulikan kegelisahan Panjali. Masih saja burung itu bertengger dengan tenang sambil menjerit-jerit kencang.
Krraaook! Krraaookk!
Jengkel, Panjali mengambil sebuah batu sebesar jempol kakinya kemudian ia lemparkan ke burung itu. Buurr! Seketika burung gagak itu terbang kemudian justru beralih bertengger di atas bubungan rumah sang majikan.
Hah! Panjali menghela napas berat dan dalam. Lantas ia pun melangkaha memenuhi panggilan sang majikan.
Panjali sedikit terkejut saat memasuki ruang tamu. Selain keempat keluarga majikan yang sudah ia hapal, juga ada lima tamu. Tiga orang cowok dan dua orang cewek. Bapak Kepala Dukuh langsung mempersilakannya duduk.
“Semuanya perkenalkan, ini tamu kita dari Surabaya. Mereka semua masih mahasiswa …,” kata Bapak Kepala Dukuh kemudian.
“Asyiiiiikk!” Bagai paduan suara kedua anak Bapak Kepala Dukuh itu menyambut gembira kehadiran tamu mereka. Begitu pun dengan ibu Kepala Dukuh. Hanya Panjali yang diam tergugu.
“Kenalan dong …!” teriak Dimas, anak sulung keluarga itu.
“Tenanglah kau Dim, biar ia mengenalkan diri,” kata Bapak Kepala Dukuh kemudian.
Seketika suasana hening lagi. Semua mata pada melongo, menanti kelima tamu itu membuka suara tentang jati dirinya.
“Silakan ….” Pak Rudi memberi isyarat dengan tangannya. Mereka pada mengangguk sambil tersenyum. Baru kemudian bicara yang diwakili oleh seorang cewek berambut cepak.
“Kenalkan, nama saya Nadya dan ini teman saya Nuril, ini Toni, ini Dandi, dan yang ini Rudi.” Nadya berkata seraya menunjuk temannya satu per satu.
Keluarga Bapak Kepala Dukuh pada mengangguk-angguk sambil tersenyum ramah.
“Maksud kedatangan kami ke mari adalah untuk membantu teman kami, Nuril yang hingga saat ini masih terkena gangguan makhluk gaib ketika kami berada di dusun Bedengan.”
Oohh … kembali suara panjang campur desah menggema dari keluarga Bapak Kepala Dukuh yang tampak berbahagia.
“Atas petunjuk dari Mbah Sengkolo, salah satu orang pintar dari daerah perkebunan Sirah Kencong bahwa satu-satunya orang yang bisa menyebuhkan teman saya hanyalah orang yang bernama Mbah Sengut yang tinggal di daerah Kromasan ini. Karena itu kami mohon bantuan dari keluarga ini untuk mengantar kami ke rumah Mbah Sengut itu secepatnya.” Nadya memberikan penjelasan dengan wajah memelas.
“Memangnya gangguan gaib semacam apa yang dialami teman kalian ini?” tanya Kepala Dukuh seraya menatap Nuril yang terbaring lemas di kursi panjang.
“Sepertinya Nuril dikuasai kekuatan yang berasal dari sebuah cincin yang dipakainya?” jawab Nadya berterus terang.
“Cincin? Cincin apa maksudnya?” Kali ini Ibu Kepala Dukuh yang bertanya.
“Cincin merah delima.”