Mbah Sengut dan Mbah Sadikun sedang berbincang di balai bambu depan rumah, ketika Panjali sampai di rumah kakeknya Gayatri itu. Setelah mematikan obor yang tadi dipakai penerangan sepanjang perjalanan dan meletakkannya di dekat pagar, Panjali bergegas menghampiri kedua sesepuh desa itu.
“Selamat malam Mbah Sengut, Mbah Sadikun,” sapa Panjali sambil mengulurkan tangan yang langsung dijabat erat oleh kedua sesepuh desa itu. Tak lupa Panjali mencium punggung tangan mereka saat menjabat tangannya.
“Ayo, silakan duduk sini! Ngomong-ngomong dari mana kau tadi? Dari rumah sendiri atau dari rumah Kepala Dukuh?” tanya Mbah Sengut begitu Panjali duduk di antara mereka.
“Dari rumah Kepala Dukuh, Mbah,” jawab Panjali seraya melongok ke dalam rumah. Besar harapannya semoga Gayatri belum tidur saat itu.
“Nggak usah mencari Gayatri, dia sudah tidur dari jam delapan tadi. Maklum besok kan harus masuk sekolah,” ujar Mbah Sengut yang seakan paham maksud dari tingkah Panjali.
Panjali menunduk tersipu malu.
“Oya, omong-omong tumben malam-malam kau ke sini, ada hal apa Panjali?” Kali ini Mbah Sadikun yang bertanya.
“Itu Mbah, ada hal penting yang ingin saya sampaikan untuk Panjenengan berdua.”
“Soal apa?” Mbah Sengut dan Mbah Sadikun bertanya berbarengan.
“Soal cincin merah delima, Mbah,” sahut Panjali lirih sambil celingak-celinguk ke sekitar seolah takut ada yang sedang mencuri dengar.
“Hust! Hati-hati kalau ngomong. Ojo sembrono! Itu hal berbahaya yang tidak dapat dibuat main-main!” Mbah Sadikun memperingatkan.
“Iya, Jali. Jangan asal ngomong soal benda mistis itu. Pamali!” Mbah Sengut menimpali.
“Tapi ini beneran, Mbah. Tadi sore di rumah Bapak Kepala Dukuh kedatangan tamu lima mahasiswa. Mereka datang ke dukuh Kromasan ini untuk bertemu dengan Mbah Sengut.”
“Saya?” Mbah Sengut menunjuk dadanya sendiri.
“Iya, Mbak. Besok mereka akan menemui Mbah Sengut untuk meminta pertolongan guna menyembuhkan salah satu teman mereka yang dkendalikan makhluk gaib dari cincin merah delima yang dipakainya.” Lagi-lagi Panjali celingukan saat berkata-kata.
“Apa kau melihat sendiri cincin yang dikenakan mahasiswa itu?” Mbah Sengut ingin lebih memastikan.
“Sayangnya, tidak Mbah. Sedari datang gadis yang maksud itu hanya bisa terbaring lemah sehingga saya tidak sempat melihat jemarinya. Tapi dari cerita teman-temannya cincin yang dipakai oleh gadis itu memang cincin merah delima. Kata mereka cincin itu di temukan di salah satu laut kidul.” Ada rona kecemasan yang mendadak hadir di wajah Panjali.
“Apa?! Laut kidul?” Mbah Sadikun terperanjat sekali.
Panjali mengangguk yakin.
“Dan yang lebih aneh lagi, wajah gadis yang memakai cincin merah delima itu mirip banget dengan wajah Gayatri.” Kekawatiran di hati Panjali kian menjadi-jadi.
“Apakah kedatangan mereka juga disertai dengan datangnya gagak hitam?” Mbah Sengut masih mencoba mengorek keterangan.
“Iya Mbah, benar. Tiba-tiba saja saat menjelang Magrib tadi ada seekor gagak hitam yang bertengger di atas atap kandang sapi belakang rumah.” Panjali mulai resah.
Sejenak kedua sesepuh dukuh itu terdiam. Keduanya hanya menatap tajam ke arah timur. Tepatnya ke pucuk beringin yang ada di Petilasan Keramat Sitinggil yang dari tempat itu memang jelas kelihatan. Sebentuk asap putih terlihat mengepul dari daun-daun beringin yang amat rindang. Disertai pula oleh munculnya segerombolan kelelawar yang sesekali terbang riuh meninggalkan area petilasan.
Sebenarnya sedari tadi, setiap kali di antara mereka ada yang menyebut nama cincin merah delima, maka akan muncul desiran angin yang membawa hawa dingin menusuk. Namun kedua sesepuh itu sengaja tak memberitahukannya pada Panjali agar pemuda itu tidak semakin dirajam rasa ngeri.
“Sepertinya firasat-firasat buruk tentang tanda-tanda kebangkitan para penghuni alam kegelapan yang belakangan ini kita rasakan dan tadi sebelum kedatangan Panjali sudah kita bicarakan akan segera jadi nyata, Adi Sengut.” Suara Mbah Sadikun memecah kebisuan.
“Kita tidak boleh mengambil kesimpulan secara gegabah. Kita pastikan dulu apakah neton kelahiran gadis yang diceritakan Panjali itu sama dengan Gayatri atau tidak. Jika neton mereka kembar, maka kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan,” sahut Mbah Sengut tanpa mengalihkan pandangan dari puncak beringin di Sitinggil.
“Ya, kau benar Adi Sengut. Besuk jika gadis itu sudah dibawa ke mari, barulah kita bisa mendapatkan kepastian.”
“Dan semoga dugaan kita itu salah,” sahut Mbah Sengut sekadar menutupi gundah.