Semula setelah pulang dari rumah Mbah Sengut, Panjali berniat mampir ke ruamhnya. Namun hal itu ia urungkan. Ia pilih kembali ke rumah sang majikan. Untuk itu, setelah beberapa saat hanya berdiri di halaman rumahnya sambil menatap semua pintu dan jendela yang sudah tertutup rapat, ia pun berputar haluan. Mengambil jalan yang mengarah ke selatan.
Entahlah, apa yang telah ia dengar dari pembicaraan Mbah Sengut dan Mbah Sadikun tadi justru mengingatkan kembali pada kemunculan gagak hitam tadi petang. Hal itu membuatnya sedikit merasa was-was selama dalam perjalanan. Nyala obor yang sering meliuk-liuk tertiup angin semakin membuat perasaannya tak karuan.
Ia dapat merasakan hawa aneh yang mengalir malam ini. Aroma kengerian sepertinya sengaja dihembuskan oleh para penghuni alam kegelapan di balik suasana gelap yang mencekam. Pucuk-pucuk daun yang sesekali bergoyang terlihat seperti tangan-tangan setan yang sedang melambai memanggil pasukan.
Dalam cekaman kegelapan yang menyiksa batin itu, Panjali berjalan lambat-lambat sambil meningkatkan kewaspadaan. Beberapa kali ia merasa tubuhnya ditabrak oleh seseorang yang melangkah tergesa-gesa searah dengannya. Padahal ketika ia toleh, tidak ada siapa-siapa.
Ketika langkah Panjali sampai di dekat cungkup kidul, ia semakin merasakan adanya keributan yang tak kasat mata. Telinganya mendengar adanya suara-suara mengajak lebih bergegas, tapi tak terlihat adanya seorang pun. Hanya kelelawar yang nampak terbang resah tanpa tujuan.
Teringat dengan apa yang pernah diajarkan Ki Sapto Dipo di puncak bukit Pranti, seketika Panjali menghentikan langkah. Sejenak ia memejamkan mata sambil membaca sebuah mantra untuk perlindungan. Dan begitu ia mendongak kembali dengan mata terbuka, tampaklah barisan mayat hidup dengan berbagai rupa yang sudah tak berbentuk lagi melangkah tergesa-gesa menuju ke satu tempat, rumah Bapak Kepala Dukuh.
Ya, dari tempatnya berdiri ia dapat melihat dengan jelas bahwa gerombolan setan itu berarak mengelilingi rumah majikannya. Kiranya para dedemit itu yang sedari tadi beberapa kali menabraknya dalam perjalanan.
“Ya ampun, sepertinya apa yang dikatakan Mbah Sengut dan Mbah Sadikun tadi semuanya benar. Kemunculan kembali cincin merah delima di dukuh ini akan membangkitkan para penghuni alam kegelapan yang belum terlalu lama berdiam. Kehadiran mahasiswa penemu cincin itu membuat dukuh Kromasan akan kembali dicekam kegelapan yang mengerikan,” gumam Panjali pada dirinya sendiri.
Sambil mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, Panjali perlahan meneruskan langkah. Kali ini ia berjalan agak melipir ke pinggiran. Berkat mantranya, untuk sementara para dedemit itu tidak akan bisa melihat keberadaannya. Karena itu lebih baik ia mencari selamat dengan menghindari keberadaan mereka.
Menyadari kalau keberadaan para dedemit itu lebih terpusat di halaman depan, di mana di ruangan depan rumah itu terdapat kamar tamu tempat para mahasiswa beristirahat, Panjali memutuskan untuk menyusuri pekarangan samping rumah. Ia langsung menuju ke belakang. Malam ini ia akan menghabiskan waktu di sebuah ruangan sempit yang ada di dekat kandang sapi. Sebab menurut para orang tua, bangsa dedemit tidaklah suka berada di dekat area kandang.
Benar saja, hingga ia masuk ke ruangan itu tidak ada satu makhluk gaib pun yang mengganggu. Makanya ia bergegas mengunci pintu ruangan itu dari dalam. Bermodal penerangan dari sebuah lampu sentir berbahan bakar minyak kelapa, ia mulai merebahkan diri pada dipan kecil yang terbuat dari bambu.
Namun, matanya belum juga mau terpejam. Dalam keadaan berbaring telinganya justru semakin jelas mendengar suara-suara aneh serta tawa yang menyeramkan. Sesekali teriak burung gagak juga ikut memecah keheningan malam. Malam yang dicekam kegelapan.
Ingin rasanya ia kirim SMS ke Gayatri untuk sekadar mengingatkan agar gadis pujaannya itu lebih berhati-hati, tapi hal itu tak jadi ia lakukan. Ia yakin Mbah Sengut dan istrinya pasti sudah berjaga-jaga dengan segala kemungkinan.
“Hi hi hi hi … hi hi hi … hi hi hi …!”
Terdengar tawa kuntilanak melintas di atas tempatnya berada. Panjali sembunyi di dalam kain sarungnya seraya meringkuk dan menutup kedua telinga.
“Sitinggil …! Sitinggil …! Sitinggil …!” Suara-suara itu berasal dari depan rumah dan terdengar semakin jelas. Panjali jadi teringat tragedi pagelaran kuda lumping yang berubah menjadi petaka mengerikan yang menyelubungi dukuh Kromasan. Tak sanggup ia membayangkan andai pageblug itu akan terulang. Kekawatirannya pada keselamatan Gayatri semakin membuatnya gamang.
Teringat kemiripan wajah Gayatri dengan mahasiswi yang harus ia antarkan besok, rasa takut semakin menusuk. Panjali jadi teramat kuatir bahwa neton kedua gadis itu kemungkinan memang kembar. Kembar neton yang akan mengharuskan Gayatri kembali bertaruh nyawa melawan kekuatan setan yang bersarang di dalam cincin merah delima.
Akh! Hati Panjali semakin dicekam kegelapan yang tiada terkira.