Gayatri baru saja berangkat sekolah ketika Panjali datang mengantarkan kelima mahasiswa untuk menghadap Mbah Sengut. Lelaki tua itu langsung mengajak tamunya ke ruang depan yang sudah digelari tikar berbahan daun pandan. Ia tidak sendiri, Mbah Sadikun juga sudah ada di rumahnya.
Benar saja, Mbah Sadikun dan Mbah Sengut sempat terkejut saat melihat Nuril yang wajahnya memang sangat mirip dengan Gayatri. Hanya model rambutnya saja yang berbeda. Setelah Nadya memperkenalkan teman-temannya serta mengutarakan maksud kedatangannya, barulah Mbah Sengut buka suara.
“Jadi ini yang bernama Nuril yang telah menemukan cincin di dalam sesajen yang terbawa arus laut kidul itu?”
Nuril yang hari ini sudah bisa duduk sendiri hanya mengangguk sambil memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
“Iya, Mbah.” Nadya yang mewakili menjawab.
“Bisakah kau tunjukkan cincinmu itu?” Mbah Sengut tampat berhati-hati sekali ketika sedang berbicara.
Nuril menganggul. Perlahan ia lepaskan cincin berpermata merah delima itu dari jari manisnya. Mudah saja bagi Nuril untuk melepaskannya. Tidak seperti Mbah Sengkolo yang waktu itu sampai jatuh berjumpalitan. Hanya saja tepat ketika cincin itu dikeluarjan dari jari manis Nuril, amboo berdesir dengan membawa hawa dingin.
“Ini, Mbah,” sahut Nuril dengan bibir bergetar. Dengan tangan yang gemetar pula ia ulurkan cincin itu pada Mbah Sengut.
Begitu menerima cincin itu, Mbah Sengut langsung berupaya menajamkan mata batinnya. Perbawa mistis yang besar dari dalam cincin itu membuat tangan Mbah Sengut ikut gemetar seakan sedang membawa benda yang cukup berat. Mata batinnya terhalang kabut hitam yang menyelubungi cincin itu, sehingga ia tak dapat melihat secara detail seberapa besar kekuatan gaib yang tersimpan dalam cincin itu. Mbah Sengut sampai mengangkat bahu.
Mbah Sadikun yang duduk di sampingnya membelalakkan mata. Ia tak heran jika kekuatan perbawa mistis dari cincin itu semakin berlipat ganda. Jauh lebih besar dari saat pemunculannya di jari manis Gayatri. Dengan isyarat anggukan, ia meminta cincin itu dari Mbah Sengut.
Kini giliran Mbah Sadikun yang menerawang kekuatan cincin merah delima itu. Namun hal yang sama ia dapati. Cincin itu diselubungi kabut hitam sehingga menghalangi penerawangannya lebih ke dalam. Seolah ada satu kekuatan yang sengaja tak mengijinkan seseorang untuk mendeteksi keberadaan sang penunggu cincin mistis.
“Oya, apa hari neton kelahiranmu?” tanya Mbah Sadikun sambil tetap memegangi cincin itu.
“Selasa kliwon, Mbah.” Lirih Nuril menjawab.
“Selasa kliwon?” gumam Mbah Sengut dengan dahi mengkerut.
Nuril mengangguk mantap.
“Memangnya ada apa Mbah dengan neton Selasa kliwon?” Nadya mulai penasaran. Sedangkan Toni, Rudi, dan Dandi hanya duduk terdiam. Mereka buta dengan istilah dan hitungan Jawa semacam itu.
“Tak mengapa, hanya saja ….” Mbah Sengut seakan ragu untuk meneruskan kalimatnya. Sejenak ia memandang lurus pada Mbah Sadikun seolah sedang meminta pertimbangan. Yang dipandang hanya mengangguk pelan.
“Jadi begini, sudah menjadi rahasia umum apabila cincin merah delima bertempat pada jari seorang gadis yang memiliki neton kembar dengan pemakai sebelumnya maka kekuatan perbawa mistis yang ada di dalamnya akan semakin berlipat ganda. Kebetulan sebelum ditemukan Nuril di pantai kidul, gadis yang memakai cincin ini adalah Gayatri, cucuku. Dan secara kebetulan netonnya juga sama dengan Nuril. Yaitu Selasa kliwon.” Wajah Mbah Sengut tampak sedih saat mengucapkan kata-kata ini. Apa yang selama ini dikawatirkannya, telah terbukti di depan mata.
“Waduh! Itu berarti sekarang cincin ini sedang berada di puncak kekuatannya dong, Mbah?” Nadya bertanya pias.