Krraaook! Krraaookk!
Suara burung gagak menyambut Panjali ketika cowok itu mulai membuka pintu belakang. Sesaat ia berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangan ke seputar kandang yang terlihat remang-remang. Lampu minyak yang menempel di salah satu tiang penyangga atap kandang nampak meliuk-liuk dibelai angin malam.
Beberapa pohon papaya yang ada di antara tanaman singkong pucuk daunnya terlihat bergoyang-goyang. Di antara pepohonan perdu sesekali terlihat adanya sekelebat bayangan yang melayang dengan gerakan ringan. Angin malam yang begitu dingin, membuat berdiri bulu kuduk Panjali.
Krraaook! Krraaookk!
Teriakan burung gagak terdengar lagi. Suara gagak itu terdengar jelas dari sisi kanan Panjali. Serta merta ia menoleh ke asal suara. Namun justru bukan burung gagak yang singgah di penglihatannya. Melainkan sosok seorang gadis yang membuat jiwa lelakinya meronta-ronta.
Betapa tidak! Di atas hamparan batang dan daun padi kering yang tak jauh dari kandang, terlihat sosok tubuh yang ia yakin adalah Gayatri sedang duduk selonjor dengan mengenakan baju tidur yang tipis. Lekuk tubuhnya terlihat begitu sempurna di mata Panjali. Bahkan ketika Panjali memandang padanya, dengan gerakan jemarinya yang lembut ia memanggil Panjali.
Semula Panjali masih kurang percaya apakah gadis yang memanggilnya itu benar-benar Gayatri atau sosok lain yang malih rupa. Namun setelah terkena tiupan angin lembut yang menerpa wajahnya, di luar kendali hati Panjali melangkah menghampiri gadis yang seolah sengaja mengundang birahi.
Perlahan Panjali duduk di hadapan gadis itu.
“Nuril …,” desah Panjali dengan mata yang tak mampu berkedip. Pandangannya seakan tersedot sepenuhnya ke gadis itu saja.
Ya, Nuril tersenyum. Atau lebih tepatnya menyeringai.
“Ada apa, kau malam-malam ke mari, Ril? Bukankah sekarang kau seharusnya sedang mempersiapkan ritual untuk besok bersama Mbah Sengut dan Mbah Sadikun?”
“Justru Mbah Sengut yang menyuruhku ke sini, Jali.” Suara Nuril terdengar mendesah manja. Seperti desau amboo malam yang setia mengusap lembut permukaan dedaunan.
“Untuk apa?”
“Mengantarkan aku ke Sitinggil.”
“Ke Sitinggil?! Malam-malam begini?”
Dengan senyum yang lebih mirip seringai, Nuril mengangguk.
“Kau mau kan pergi bersamaku, Jali?” Kali ini suara Nuril lebih terdengar seperti sebuah erangan dari sesosok makhluk yang berasal dari alam kegelapan.
Panjali menyadari adanya keanehan dari sikap Nuril sekarang. Ingin rasanya ia menolak mengantar Nuril ke Sitinggil, ia pun bermaksud menggelengkan kepala. Tapi, astaga! Satu kekuatan tak terlihat justru membuat kepalanya bergerak mengangguk. Anggukan yang membuat Nuril tersenyum penuh kemenangan.
Saat selanjutnya, bagai terhipnotis Panjali menurut saja saat Nuril menggandeng dan membawanya melangkah menuju Sitinggil. Panjali seperti robot bernyawa, melangkah dengan gerakan kaku dan memandang kosong ke depan.
Tegur sapa dari beberapa warga yang kebetulan berpapasan dengannya, sama sekali tak ia hiraukan. Memang dalam penglihatan warga saat itu Panjali sedang berjalan sendirian. Sosok Nuril tidak kelihatan. Tentu saja sikap Panjali yang tak seperti biasanya itu membuat warga heran. Terlebih langkah Panjali malam itu diringi oleh hadirnya seekor gagak hitam yang terus mengikuti langkah Panjali.
“Jali …,” kata Nuril memecah keheningan suasana.
“Hmm ….”
“Aku punya masalah, kau mau membantu?”
“Masalah apa?” Panjali balik bertanya dengan suara merdu.
“Jawab dulu! Mau nggak?”
“Eng … kalau aku mampu, mau saja.”
“Saat ini aku lagi sakit, Jali.”
“Sungguh?” tanya Panjali seraya tersenyum.
Habis, Panjali kan heran juga. Nuril yang kini segar bugar kok bilang lagi sakit. Aneh, kan!
“Sakit asmara,” jawab Nuril datar.
Panjali tertawa kecil, Nuril menatapnya sambil membasahi bibir dengan jilatan lidah.
“Kenapa kau tertawa, Jali?”
“Lucu.”
“Kok lucu?”