“Aaaarrrggghhh …!”
Pada saat yang sama di rumah Mbah Sengut, Nuril yang semula sedang tidur sekamar bersama Nadya, tiba-tiba menjerit histeris sambil memegangi jari manis tangan kirinya yang mendadak melepuh kemerahan. Cincin yang melingkar di jari itu nampak merah membara dan mengepulkan asap. Di wajah Nuril muncul pula otot-otot hitam yang nampak jelas terlihat di bawah kulitnya yang putih.
Gerakan Nuril yang meronta-ronta di atas ranjang, membuat otot-otot hitam itu terlihat seperti akar yang sedang berusaha keluar dari kulit kepalanya. Sehingga wajah Nuril tampak seperti seorang nenek sihir yang sedang murka.
“Hi hi hi hi … aku puas … aku puas … haus darahku sudah berkurang … aku puas … hi hi hi hi …!” teriaknya sambil memukul-mukul kepalanya. Rambutnya yang tergerai sebahu itu diacak-acak dan ditarik-tarik.
“Hi hi hi … aku puas … aku akan segera bangkit …? Hi hi hi hi … bangkit … puas … hi hi hi hi …,” oceh Nuril sambil terus memukul-mukul kepalanya sendiri.
Nadya, Toni, Dandi, dan Rudi saling berpandangan. Di wajah mereka terbias sesuatu yang sulit untuk di terjemahkan. Cemas, tak mengerti, dan takut berbaur jadi satu.
“Jangan-jangan dia, oh ….” Toni tak melanjutkan kata-katanya. Ditatapnya wajah Nadya yang sedang memandang lurus ke arah Nuril yang masih tetap berteriak dan tertawa tawa aneh.
“Bangkit! … hi hi hi hi hi hi … aku akan segera bangkit …! Ho ho ha ha hi hi … aku akan bangkit … ha ha ha … bangkit … bangkit … hi hi hi hi!”
“Nuril …!” pekik Toni tanpa sadar. Dibantingnya selimut yang sedari tadi didekapnya. Ia berlari meninggalkan Nadya yang masih berdiri mematung. Air mata Nadya jatuh bercucuran. Toni terus berlari dan baru berhenti di depan Nuril yang terus tertawa dan berteriak-teriak bagai orang kesurupan.
“Nuril …,” sapa Nadya lirih diantara isak tangisnya. Tangannya yang gemetar mencoba memegang lengan Nuril.
“Bangkit aku ha ha ha … bangkit hi hi hi … hu hu hu … ha ha ha …,” kata Nuril dalam tawanya yang menggelegar.
“Nuril! Tidaaak … apa maksudmu, Ril,” kata Toni terbata-bata. Tangannya terus mencoba memegang lengan Nuril, tapi dengan kasar di tepiskan berulang kali. Tangis Nadya makin keras, sementara itu Mbah Sengut dan Mbah Sadikun berjalan tergopoh-gopoh menghampiri mereka.
“Bangkit? Aku akan bangkit, ha ha ha … hi hi hi … aku bangkit … bangkit … bangkit hi hi hi … hu hu hu … bangkit hi hi hi hi …!”
“Nuril! Mengapa kau begitu?” tanya Toni seraya mengguncang-guncang pundak Nuril.
“Aku mau bangkit. Tahu?!” bentak Nuril.
Matanya yang marah menatap tajam ke arah Mbah Sengut dan Mbah Sadikun yang telah maju beberapa langkah. Kemudian Nuril tertawa lagi sambil tetap memukul-mukul kepalanya.
“Ha ha hi hi … bangkit … aku bangkit … ha ha ha… hi hi hi ….”
“Tidak mungkin! Tidak … kau tidak akan kubiarkan bangkit!” teriak Mbah Sengut dengan wajah angker.
Seketika Nuril berhenti tertawa. Matanya nyalang menatap Mbah Sengut yang masih merapal mantra. Mbah Sadikun juga membantunya dengan doa-doa.