Dukuh Kromasan berduka. Sejak pagi gerimis datang melanda. Jasad Panjali yang ditemukan seorang warga di bawah pohon beringin petilasan keramat Sitinggil membuat warga gempar sekaligus cemas. Kondisi mayat yang penuh luka cakaran dan gigitan binatang buas dengan leher yang nyaris putus membuat warga takut jika kekuatan gelap Sitinggil akan kembali bangkit. Warga sadar benar, ketika petilasan keramat Sitinggil telah berlumur darah itu berarti kengerian akan kembali menjarah.
Tak urung kematian tragis Panjali yang begitu mendadak, membuat kedua orang tuanya jatuh bangun tak sadarkan diri. Mereka seakan tak percaya bahwa anaknya telah dipanggil Yang Mahakuasa dengan cara mengenaskan. Begitu pula dengan keluarga Bapak Kepala Dukuh. Mereka benar-benar merasa terpukul dengan kenyataan ini. Baru semalam mereka pergi, kini saat pulang sudah disambut dengan kedukaan yang menyayat hati.
“Kematian adalah takdir yang pasti akan diterima semua orang. Karena itu kepergian Panjali ini semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa tidak ada satu kekuatan yang dapat menunda datangnya kematian. Untuk itu, mari kita berdoa semoga almarhum Panjali diterima segala amal kebaikannya dan diampuni segala dosanya sehingga mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan,” kata Mbah Sengut di akhir acara pemakaman.
Mendengar itu, Gayatri semakin tersedu. Air matanya berlinang sebagai ungkapan hatinya yang sedang remuk redam. Rasa kehilangan yang teramat dalam membuatnya tenggelam dalam kedukaan.
“Gayatri, tabahkan hatimu, ya,” ucap Nuril saat mereka beranjak meninggalkan area pemakaman.
Gayatri tak menyahut. Ia malah menatap tajam wajah Nuril yang hari itu justru tampak lebih sehat dan bugar dari sebelumnya. Masih ada suatu hal yang mengganjal dalam hati Gayatri. Sedari proses memandikan jenazah hingga proses pemakaman, burung gagak tak henti berteriak sambil terbang keliling dukuh Kromasan.
Ditambah lagi dengan adanya kejadian yang menimpa Nuril dan dirinya tadi malam. Teriakan-teriakan aneh yang keluar dari mulut Nuril lebih menyerupai ungkapan dendam dari Nini Diwut yang belum terlampiaskan. Juga dirinya, tiba-tiba saja mengerang kesakitan sambil menyebut-nyebut nama Sitinggil.
Gayatri melangkah perlahan-lahan sambil memayungi neneknya yang juga dirundung kesedihan. Wajah perempuan tua itu berselimut mendung setebal mendung yang sedang menutupi langit.
Saat langkah mereka tiba dekat cungkup lor, tiba-tiba seekor gagak terbang rendah dan hinggap di atas payung yang sedang dipegang Gayatri. Akibat kuku-kukunya yang tajam, tak ayal bagian atas payung itu berlubang-lubang.
“Huust! Huusst!” teriak Gayatri berusaha mengusir burung gagak itu dengan menggoyang-goyangkan gagang payungnya.
Namun burung gagak itu cukup bandel juga. Bukannya terbang menjauh, gagak itu justru berteriak-teriak keras sambil mengepak-ngepakkan sayapnya.
Krraaook! Krraaookk!
Tak urung, pegangan tangan Gayatri menjadi limbung. Gagang payung itu nyaris terlepas dari genggamannya. Saat bagian atas payung sudah miring sepenuhnya, barulah burung itu terbang ke timur menuju pohon beringin di Sitinggil.
Akibatnya untuk beberapa saat Gayatri dan neneknya harus kehujanan akibat ulah burung sialan itu.
“Huuh!” Gayatri mendengus kesal.
***