SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #42

MALAM SELASA KLIWON

Mbah Sengut memerintahkan agar Nuril dan Gayatri duduk berhadapan di atas altar batu berwarna hitam. Sedang Mbah Sadikun sibuk menata teman-teman Nuril. Toni bertugas duduk bersila di pojok utara. Dandi ada di pojok selatan. Rudi ada di pojok timur. Dan Nadya duduk di pojok utara. Masing-masing memegang setangkai daun kelor yang sudah dibasahi oleh ramuan bermantra.

Setelah semua siap, Mbah Sadikun menyusul duduk di hadapan Mbah Sengut. Tiga takir plontang diletakkan tepat di hadapan mereka. Perlahan Mbah Sengut mulai menyulut dupa di masing-masing takir. Begitu pucuk dupa itu merah membara, bau khas dupa yang semerbak meruar seiring kepulan asap yang menjalar.

Selanjutnya, Mbah Sengut dan Mbah Sadikun sama-sama duduk bersila dengan tangan bersedekap dan bibir bergerak ritmis membaca mantra dalam bahasa Jawa Kuno yang tentu saja tak dimengerti maknanya oleh para mahasiswa.

Gayatri dan Nuril menyatukan telapak tangan kiri secara lurus dengan jemari menghadap ke atas. Sedang tangan kanannya disilangkan di depan dada. Kedua gadis itu duduk tepekur sambil membaca doa-doa sesuai yang mereka bisa.

Tak lama berselang, berbarengan dengan desau angin yang mulai menderu mengelilingi area petilasan keramat itu, terdengarlah jeritan-jeritan mengerikan tanpa adanya penampakan. Disusul kemudian oleh kemunculan pasukan kelelawar yang juga terbang berputar-putar dengan jeritan-jeritan yang khas.

Seiring asap dupa yang kian meliuk-liuk tertiup angin, tubuh Gayatri dan Nuril juga terlihat mulai bergetar.

Mata Mbah Sengut dan Mbah Sadikun terpusat pada cincin di jemari Nuril yang juga mulai mengeluarkan cahaya merah berkilauan. Cahaya merah terang itu membelit batang pohon beringin dari pangkal hingga bagian pucuknya. Sehingga pohon beringin besar itu terlihat seperti pohon natal raksasa yang gemerlapan.

Tak ayal, kerlap cahaya itu mengundang datangnya aneka binatang malam yang langsung terbang mengitari pohon beringin itu.

Tak lama kemudian terdengar tawa-tawa menggidikkan dari berbagai jenis makhluk astral yang berpenampakan mengerikan.

“Hi hi hi hi …! Hi hi hi hi …! Hi hi hi hi …!”

Mendengar itu, ke empat mahasiswa yang bersila di empat penjuru petilasan mulai nampak kegelisah menahan rasa takut. Berulangkali mereka mengedarkan pandangan ke asal suara-suara yang menyeramkan itu. Namun yang terlihat hanyalah kegelapan malam.

Menyadari hal itu, Mbah Sadikun memberikan isyarat agar mereka tetap bertahan di tempatnya masing-masing.

Tepat ketika ketiga takir plontang di hadapan mereka mulai terangkat perlahan-lahan, Gayatri dan Nuril mulai menggeram-geram. Suara mereka menyerupai auman harimau hutan. Dan ketika seluruh isi takir itu tumpah di atas batu hitam, tiba-tiba cincin merah di jari Nuril melesat tinggi ke pucuk beringin.

Gerakannya yang cepat menimbulkan suara desingan yang cukup keras. Akibatnya ranting-ranting yang diterjang lesatan cincin itu langsung patah dan berjatuhan. Semua berserak di sekitar altar batu hitam.

Beberapa saat cincin merah delima itu berputar-putar di atas pucuk beringin. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mbah Sengut dan Mbah Sadikun untuk mempersiapkan senjata pusaka masing-masing. Mbah Sadikun mengeluarkan keris pusaka andalannya. Sedang Mbah Sengut mengeluarkan semacam cundrik (sejenis tusuk konde) yang berwarna kuning keemasan.

“Bersiaplah, Adi Sengut! Jika cincin merah delima itu nanti melesat turun, tangkaplah dengan cundrikmu itu. Pastikan agar saat jatuh tepat memasuki cundrikmu. Setelahnya biar kerisku ini yang akan menyelesaikannya!” ujar Mbah Sadikun.

“Iya, Kang Sadikun! Semua tergantung pada kekuatan Gayatri dan Nuril. Selama mereka berdua mampu bertahan, tidak tumbang sampai cincin itu tertangkap, maka semuanya pasti aman!” sahut Mbah Sengut paham.

“Kalau begitu kita harus berbagi tugas, Adi Sengut.”

“Berbagi tugas bagaimana maksudnya, Kang?”

“Sambil mengendalikan senjata pusaka, kita salurkan sebagian kekuatan kita pada Gayatri dan Nuril. Kau berbagilah kekuatan pada Gayatri, dan aku akan berbagi dengan Nuril.”

Lihat selengkapnya