SITINGGIL 2 : CINCIN MERAH DELIMA

Heru Patria
Chapter #43

MURKA ALAM KEGELAPAN

Bertepatan dengan terbelahnya cincin merah delima menjadi empat bagian oleh tusukan keris Mbah Sadikun, permukaan kali Tempur yang semula tenang tiba-tiba bergejolak. Air yang semula bening itu, mendadak berubah warna menjadi merah semerah darah dan mengeluarkan gelembung-gelembung seperti air mendidih. Dalm gelap malam kali Tempur yang tak seberapa luas itu terlihat seperti sebuah sisi neraka yang sedang memamerkan bara dari tulang belulang manusia.

Seluruh binatang air yang ada sekarat dan mati terebus. Beragam jenis ikan, ular, belut, kepiting, dan juga kura-kura semuanya meregang nyawa.

Sesosok genderuwo yang selama ini menjadi penguasa kali Tempur, berdiri tegak menatap pucuk beringin di Sitinggil yang sedang meliuk-liuk diterjang hujan badai. Makhluk besar bertubuh hitam dengan mata merah menyala itu menggeram-geram menahan murka. Deretan giginya yang runcing tak berturan gemerutuk beradu.

Sikapnya yang angker itu membuat makhluk astral lainnya pada menjauh. Puluhan kepala tanpa badan, bergerombol di atas jembatan. Mereka juga tampak menahan geram. Gerombolan badan tanpa kepala berada di tepi kanan kali Tempur. Tangannya tak bisa diam, selalu menggapai-gapai ke segala arah.

Begitu pula para kuntilanak, peri, dan pocong. Kelompok hantu yang sering menampakkan diri untuk menggoda manusia ini juga pada berdiri gelisah seakan tak terima atas Nini Diwut yang telah kalah.

“Hi hi hi hi …! Sekarang bukan saat yang tepat untuk menuntut balas. Kalian semua, kembalilah ke alam kegelapan. Nanti jika saatnya tiba, aku pasti akan memanggil kalian! Hi hi hi …!” Suara Nini Diwut menggema ke segala arah. Meski di balik tawanya, perempuan iblis itu sedang menahan luka akibat pertempurannya tadi.

“Tapi Nini, kita harus merebut kembali cincin merah delima itu!” Sosok genderuwo tinggi besar belum mau terima.

“Cincin mistis itu sudah tak penting lagi buat kita. Kedua manusia keparat itu pasti telah memusnahkannya. Tapi tenang, kita nanti masih bisa memanfaatkan jasad Panjali untuk menuntut balas. Hi hi hi hi …!”

“Tapi kapan kesempatan itu datang, Nini?”

Sosok genderuwo mengedarkan pandangan guna mencari keberadaan Nini Diwut yang sedari tadi tak menampakkan wujudnya. Yang hadir hanya suaranya saja.

“Tunggu saja perintahku! Sekarang kalian semua kembalilah! Simpan tenaga kalian untuk nanti. Hi hi hi hi …!”

Hening! Suara Nini Diwut tak terdengar lagi. Dua ekor burung hantu terbang rendah dan hinggap di dahan pohon randu. Matanya yang bulat dan tajam, menatap sekumpulan hantu yang menghilang satu per satu.

Gemuruh angin datang menderu. Angin kencang itu bertiup dari arah Sitinggil. Sesaat angin berputar-putar di atas kali Tempur, untuk kemudian mengarah ke barat menuju pemukiman warga dukuh Kromasan dengan membawa serta bau busuk yang meruar dari binatang air yang telah meregang nyawa,

 

                                                           ***

 

Oleh karena rumah Mbah Sadikun lebih dekat dengan area petilasan keramat Sitinggil, maka Gayatri dan Nuril yang sedari tadi tak sadarkan diri langsung di bawa ke sana. Nadya dan teman-temannya lah yang bertugas membopong tubuh kedua gadis itu.

Sampai di rumah tubuh Gayatri dan Nuril segera dibaringkan di atas daun pisang raja yang masih muda. Mereka dibaringkan di bawah Gerojokan Sewu. Yang dimaksud Gerojokan Sewu itu sebenarnya adalah tempat jatuhnya air hujan dari genteng. Warga biasa menyebutnya Tritisan.

Sementara ke empat mahasiswa sedang menunggui Gayatri dan Nuril yang dibaringkan di tempat yang berbeda, Mbah Sengut dan Mbah Sadikun terlihat sibuk membuat ramuan penangkal sambil merapal doa dan mantra. Ramuan itu mereka wadahi pada sebuah batok kelapa yang telah dibelah jadi dua.

Selanjutnya Mbah Sengut menuju tritis rumah bagian kanan tempat Nuril berada dan Mbah Sadikun ke tritis kiri tempat Gayatri. Saat ramuan itu diusapkan ke sekujur tubuh Gayatri, tidak menimbulkab reaksi apa-apa. Gayatri hanya menggeliat sebentar ketika usapan ramuan sampai ke bagian pusarnya. Dengan tubuh lemas dan mata tetap terpejam, Gayatri pun dibopong ke dalam rumah.

Tapi tidak demikian dengan Nuril. Saat Mbah Sengut mengusapkan ramuan itu ke tubuhnya, Nuril justru mengerang-erang dengan hebat. Wajahnya bergonta-ganti rupa. Sesaat yang terlihat wajah Nuril sendiri, lalu berubah menjadi wajah seorang pemetik kopi jaman Belanda, kemudian berganti dengan wajah nenek-nenek renta yang menyeramkan. Bibir Nuril tiada henti bergerak dan menyebut nama Sitinggil!

Lihat selengkapnya