Krraaook! Krraaookk!
Lengkingan jerit seekor gagak hitam yang terbang rendah di atas hamparan area persawahan terdengar ganjil di tengah hari yang sedang terik. Suaranya yang khas dan mengerikan beradu dengan gema adzan Dhuhur yang sedang berkumandang. Seperti binatang yang datang dari alam kegelapan, gagak hitam yang bermata merah menyala itu mengitari dukun Kromasan dengan pandangan menyelidik.
Hah!
Pemandangan ganjil itu mengagetkan Kodil, seorang warga dukuh Kromasan yang sedang merumput. Lelaki renta berusia lebih dari 60 tahun itu tahu benar bahwa kemunculan gagak hitam di tengah hari merupakan pertanda buruk bagi daerah yang ia huni. Hal itu merupakan tanda-tanda adanya seseorang yang telah melanggar pantangan yang sudah dipercaya oleh seluruh warga secara turun temurun.
Krraaookk!
Saat gagak itu melintas di atas kepalanya, orang tua itu serta merta menghentikan sabetan sabitnya. Ia pandangi gagak hitam itu dengan perasaan cemas. Besar harapannya semoga kejadian buruk yang pernah dialaminya di masa silam tak akan terulang lagi. Ia merasa tak sanggup lagi untuk menyaksikan tumpahan darah di usianya yang sekarang ini.
“Ya Allah … pertanda apa lagi ini? Semoga kemunculan gagak hitam itu bukan lagi suatu pertanda akan datangnya prahara banjir darah seperti yang terjadi 30 tahun silam. Siapa pun yang telah melanggar pantangan di dukuh Kromasan semoga tak menyeret korban lain. Lindungilah segenap warga dukuh Kromasan ya Allah,” doa lelaki tua itu dengan mulut komat-kamit membaca mantera.
Krraaookk!
Sekali lagi gagak hitam itu melintas di atas kepalanya. Serta merta lelaki itu menyudahi menyabit rumput meski keranjang yang dibawanya baru berisi setengah. Rasa was-was yang memenuhi ruang hatinya mengharuskan ia untuk segera pulang ke rumah. Biarlah kerbau piaraannya hari ini agak kekurangan makan, yang penting ia harus cepat menghindar dari kejadian buruk yang mungkin terjadi.
Hiii!
Ia bergidik ngeri sewaktu tahu kalau gagak hitam itu terbang ke utara dukuh dan berhenti pada sebatang pohon beringin besar yang ada di area makam petilasan keramat. Dengan tergesa-gesa ia panggul keranjangnya.
Sambil mengedarkan pandangan ke sekitarnya, ia melintasi pematang sawah yang sudah seminggu melewati masa panen. Kali ini ia sengaja tak melewati jalan desa yang membentang di tengah persawahan itu. Ia pilih menyusuri jalan setapak yang ada di sepanjang tepian sungai Ngambak.
Astaga!
Tepat di sisi timur jembatan Kletek, serta merta lelaki itu menghentikan langkah. Dengan pandangan kaget dan tak percaya ia menatap pada sebuah gubuk kecil yang ada di tengah sawah. Pandangannya tersedot pada sepasang remaja yang sedang duduk berdua di balai bambu yang ada di tengah gubug itu. Bahkan saat ia sampai di sana, kedua remaja itu tampak sedang berpelukan dengan mesra.
Penasaran, lelaki tua itu berjalan mengendap-endap untuk lebih mendekati gubug itu. Dengan berlindung di balik sebatang pohon waru yang besar, ia tajamkan penglihatan. Ya, Tuhan! Lagi-lagi hatinya tersentak. Matanya terbelalak lebar seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.