Sitinggil adalah sebuah makam kuno yang terletak di sebidang tanah seluas sepuluh meter persegi yang posisinya setengah meter lebih tinggi dari area persawahan yang mengelilinginya. Jadi sesuai dengan namanya : Sitinggil. Siti dalam bahasa Jawa berarti tanah. Inggil artinya tinggi. Jadi Sitinggil berarti tanah yang tinggi. Namun, demikian bagi warga dukuh Kromasan dan sekitarnya, Sitinggil bukanlah semata-mata gundukan tanah yang tinggi dari segi posisinya tapi juga tinggi dari nilai kesakralannya.
Di Sitinggil itu terdapat satu kuburan tua yang sangat dikeramatkan. Apabila ada warga yang hendak punya suatu hajat niscaya mereka akan terlebih dulu selamatan di area kuburan Sitinggil itu. Konon kabarnya jasad yang tertanam di kuburan itu adalah seorang sesepuh dukuh yang babat alas dukuh Kromasan. Orang itu sakti mandraguna. Berkat aji pancasona yang dimilikinya, ia tak akan bisa mati selama tubuhnya masih menyentuh tanah. Namun, kemudian ada saudara perguruannya yang serakah. Dia ingin menguasai dukuh Kromasan yang subur.
Maka tipu daya pun dilaksanakan. Mbah Kromasan diminta saudaranya itu untuk mengupas kelapa sejumlah seratus buah dan harus selesai dalam waktu satu jam. Saat kelapa yang harus dikupas tinggal 3 biji, serta merta sang saudara mengayunkan golok ke batang leher Mbah Kromasan.
Croott!!
Sekali tebas kepala Mbah Kromasan jatuh menggelinding di atas tumpukan kelapa yang telah dikupasnya. Sedang badannya masih berdiri tegak dengan perut menancap pada sebatang linggis yang dipakai sebagai alat pengupas kelapa. Darah segar menyembur deras dari batang lehernya, membasahi semua kelapa yang telah terkupas.
Tak ingin tubuh Mbah Kromasan menyatu dan bangkit lagi, sang saudara seperguruan segera mengikat dan menggantung tubuh tanpa kepala itu di sebuah pohon beringin di tengah area persawahan. Sedang kepalanya dimasukkan dalam sebuah wadah dari tanah liat yang disebut kendil. Tak lupa dia memotong jari manis Mbah Kromasan guna mengambil cincin mustika. Lalu dengan paksa dia masukkan lidah Mbah Kromasan ke dalam lobang cincin itu hingga cincin itu melingkar erat di pangkal lidah.
Di bawah cahaya bulan purnama yang terang benderang sang saudara seperguruan membuat lubang tepat di bawah bayang-bayang tubuh tanpa kepala yang telah dia gantungkan. Dia menggali tanpa alat, tapi langsung menggunakan jari jemarinya. Selanjutnya kepala yang sudah dia masukkan ke dalam kendil itu, dia tanam pada lubang yang telah dia buat. Lantas di atas gundukan tanah itu dia letakkan sebongkah batu sebagai penanda.
He he!
Sang saudara seperguruan tersenyum menyeringai. Kiranya indra ke enam orang itu telah menangkap sinyal akan datangnya suatu keganjilan. Benar saja! Begitu tangannya selesai menepuk batu itu sebanyak 3 kali, tiba-tiba keanehan terjadi. Tanah tempatnya berpijak bergetar dengan hebat disertai desingan angin yang kencang.
Hap!
Orang itu segera berdiri tegak. Mulutnya komat-kamit membaca mantra dengan mata menatap lurus ke bulan purnama. Sesekali tangannya terangkat ke atas seolah dia sedang menahan suatu beban yang teramat berat.
Dan seiring getaran bumi yang semakin hebat tiba-tiba dari langit sebelah selatan datanglah awan hitam bergulung-gulung bergerak menuju kearah bulan purnama. Sehingga dalam waktu singkat cahaya bulan mulai meredup. Tepat ketika separo bulan telah tertutup oleh awan, mendadak sebongkah batu yang tadi dia letakkan, memancarkan sinar merah yang sangat menyilaukan. Begitu besarnya kekuatan sinar merah itu, hingga saat sinar itu tepat menerpa tubuhnya, orang itu langsung terpental beberapa jengkal.
Brouugtk!
Tubuh orang itu mendarat di tengah sawah. Sambil tetap tengkurap di sawah yang berlumpur dan berair itu, matanya terus melotot menyaksikan sinar merah yang terus berpendar dari sepetak tanah yang kini baru dia sadari bahwa posisi tanah itu menjadi lebih tinggi. Namun, anehnya posisi beringin raksasa yang ada di sana ikut pula terangkat dengan sendirinya.
Diiringi dengan desauan angin yang menderu, serta lolongan anjing malam yang menyayat, cahaya merah itu berpendar jadi satu membentuk sebuah kerucut raksasa yang kemudian melesat jauh ke ruang angkasa.
Kini yang tersisa hanya asap putih yang mengepul dari sebongkah batu yang telah berubah warna menjadi hitam.
Tubuh yang masih tergeletak tengkurap di tengah sawah tampak mulai bergerak. Berusaha bangkit untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun, usahanya sia-sia. Tangan dan kakinya yang terbentang seolah diikat kuat oleh akar-akar padi yang baru berumur beberapa hari. Akar-akar padi itu menjadi bernyawa, berupaya membelit dan membenamkan tubuh orang itu ke dalam tanah lumpur yang basah.
Orang itu meronta dan menjerit. Namun, tak ada suara yang dikeluarkannya. Yang terlihat justru badannya semakin lama semakin terbenam ke dalam tanah. Seperti dimakan oleh bumi, tubuh orang itu sudah tak kelihatan lagi seiring dengan hilangnya asap putih yang tadi mengepul dari sebongkah batu yang jadi nisan kepala Mbah Kromasan itu. Sejak saat itu karena tanah di tempat itu menjadi lebih tinggi dari tanah di sekitarnya maka orang-orang menyebutnya Sitinggil!
Cerita dari mulut ke mulut yang telah diwariskan turun temurun hingga beberapa generasi itu, membuat aura magis Sitinggil masih begitu kental dipercaya masyarakat hingga sekarang. Karena itu warga dukuh Kromasan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kesakralan tempat ini. Apabila ada warga yang punya hajat tak lupa memberi sesajen di makam keramat. Termasuk bila hendak mengadakan acara Bersih Desa maka sesajen lengkap harus pula ada.
Seperti hari ini, tepat di bulan Syuro hari Senin Wage, sesepuh desa dan beberapa warga tampak sibuk membersihkan area Sitinggil. Karena nanti malam adalah malam Selasa Kliwon, di mana mereka akan menggelar acara Bersih Desa yang akan dimeriahkan dengan pagelaran seni Kuda Lumping. Hal ini sudah tradisi. Sebab apabila seni Kuda Lumping itu diganti dengan seni yang lain, warga takut akan terjadi apa-apa di dukuh mereka. Karena itu meski kesenian modern sudah merambah ke mana-mana, tapi warga dukuh Kromasan tetap mempertahankan seni Kuda Lumping yang dipercaya sebagai bagian dari warisan leluhur mereka.
Dengan mempergunakan sabit dan cangkul, warga bergotong-royong membersihkan lingkungan dukuhnya dari rumput-rumput liar yang menjamah, termasuk lingkungan Sitinggil. Kain putih penutup sebongkah batu yang dipercaya sebagai nisan dan juga kain putih yang melilit batang bagian bawah dari pohon beringin, diganti dengan yang baru.
Mbah Sengut selaku sesepuh utama dukuh Kromasan dengan cermat mengawasi warga yang sedang kerja bakti di area Sitinggil. Ia harus memastikan tak ada sebatang rumput pun yang tersisa di area makam. Kondisinya benar-benar harus bersih. Bebas rumput dan sampah.
Hmm!
Mbah Sengut tersenyum. Lelaki 70 tahun yang selalu mengenakan pakaian adat Jawa berupa baju lurik, celana kolor warna hitam, dan menghiasi kepalanya dengan udeng itu merasa cukup puas dengan kerja warganya yang kompak.
“Bapak-Bapak … maaf, karena pembersihan di Sitinggil ini tinggal sedikit saja, maka saya permisi duluan untuk mengecek warga lain yang sedang menyiapkan tempat untuk pagelaran Kuda Lumping nanti malam. Nah jika di sini nanti sudah selesai, silakan Bapak-Bapak mnyusul saya ke sana. Sekalian kita nanti makan siang bersama.”
“Iya, Mbah!!” sahut kelima warga yang ada di tempat itu dengan kompak.
“Jangan lupa, nanti sampah dan rumputnya dibuang di pinggir sungai saja,” pesan Mbah Sengut sebelum melangkah.
“Iya, Mbah!!” Kembali warga menyahut dengan kompak.
“Mari … assalammualikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Mbah Sengut melangkah perlahan meninggalkan Sitinggil. Lima warga yang ditinggalkannya kembali melanjutkan pekerjaan yang tinggal sedikit saja.