SITINGGIL PETILASAN KERAMAT

Heru Patria
Chapter #3

SEPASANG MATA DI POHON MAHONI


Sementara itu di sebuah jalan desa yang membelah hutan cemara, Gayatri yang sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, melangkah perlahan sambil menenteng tas sekolah. Angin semilir yang berhembus di sela dedaunan sesekali menggoyangkan rambut panjang Gayatri yang dibiarkan terurai sepinggang.

Sekilas perawakan tubuh dan wajah Gayatri memang mirip dengan artis sexsy Julia Peres. Aura kecantikan Gayatri yang mempesona membuatnya menjadi kembang desa di dukuh Kromasan. Tak heran banyak pemuda Kromasan yang sebenarnya terpesona oleh kemolekannya. Namun karena adanya pantangan adat yang melarang mereka pacaran dengan sesama warga, maka para pemuda yang terpikat pada Gayatri, harus rela memendam hasrat cintanya jauh di dasar hati.

Akan tetapi tidak bagi Panjali. Semakin dilarang justru rasa cintanya pada Gayatri semakin berkembang. Semakin ia coba untuk menjauhi Gayatri, bayang wajah mempesona gadis itu justru kian melekat di pelupuk mata dan disegenap ruang hatinya. Makanya kini ia tak peduli lagi apa kata orang. Meski sudah berulang kali ia dicaci maki Mbah Sadikun, eyang dari Gayatri yang sekaligus adalah sesepuh dukuh Kromasan ini, Panjali tetap tak mau berpaling hati. Baginya selagi Gayatri juga masih mau menerima cintanya maka tak akan surut niatnya untuk senantiasa mencintai. Persetan dengan larangan adat! Persetan dengan pamali! Kalau cinta sudah melekat, segala resiko pasti akan ia hadapi.

Begitu langkah Gayatri sampai di sebuah jembatan sungai Ngambak yang sekaligus menjadi batas dan pintu masuk ke dukuh Kromasan, gadis cantik itu menghentikan langkahnya karena mendengar panggilan dari pangeran yang senantiasa ia rindukan.

“Gayatri …!” panggil Panjali sambil melompat keluar dari rerimbunan tumbuhan perdu yang banyak tumbuh di sisi kanan jalan. 

Seulas senyum langsung terlukis di bibir Gayatri yang merekah tanpa polesan.

“Panjali! Kenapa kau di sini?”

“Aku sengaja menunggumu, Gayatri.”

“Menunggu aku?!”

“Iya.”

“Tapi kenapa?”

Panjali tak segera menjawab. Sejenak dipandanginya wajah gadis yang sangat dirindukannya itu. Mendapat tatapan mata yang begitu menghujam, Gayatri menundukkan kepala. Seolah tak kuasa menerima binar-binar cinta yang terpancar dari mata Panjali yang penuh bara cinta.

Duuuh, ingin rasanya Panjali memberikan satu ciuman lembut di bibir Gayatri seperti yang sering ia mimpikan tiap malam, tapi Panjali ragu. Takut bila apa yang ia lakukan diketahui oleh seseorang.

Sejenak Panjali mengedarkan pandangan. Rasa was-was bergelayut di rongga dadanya. Berbaur dengan rasa rindu yang meletup-letup hingga di dasar kalbu.

“Kita bicara di sana saja ya, supaya tidak ketahuan warga dukuh,” kata Panjali sambil menunjuk sebuah batu besar yang terlindung oleh pohon-pohon perdu.

Gayatri mengangguk pelan. Tak ada alasan baginya untuk menolak.

“Ya,” jawabnya dengan hati menggelegak.

Sambil tersenyum, Panjali meraih tangan Gayatri lantas digandengnya menuju ke tempat yang ia maksud tadi. Kini mereka duduk di sebongkah batu besar yang teduh karena terlindung oleh tumbuhan di sekelilingnya. Sambil tetap bergenggaman tangan, mereka menatap sepasang burung pipit yang terbang rendah tak jauh dari hadapan mereka.

“Jali, kau tadi belum jawab pertanyaanku,” kata Gayatri sambil merebahkan kepalanya di bahu Panjali.

“Pertanyaan yang mana?” tanya Panjali dengan suara lirih dan mendesah. Desahan yang membuat hembusan napasnya menggelitik telinga Gayatri yang sudah begitu dekat dengan bibir Panjali.

“Kenapa kau tadi menunggu aku di sini?” Gayatri mengulang pertanyaannya yang tadi belum terjawab.

“Kasih tahu, nggak ya?” Goda Panjali membuat Gayatri gemes. Serta merta jemarinya yang lentik terulur dan mencubit pipi Panjali dengan mesra.

Lihat selengkapnya