Waktu seperti membeku saat Vasilla melangkah melewati koridor menuju kelasnya. Anak-anak yang semulanya ribut dan berlarian mendadak terhenti, berbisik sambil menatapnya dengan tatapan benci, takut, dan jijik seperti seolah-olah Vasilla adalah monster yang tak layak hidup berdampingan dengan mereka.
"Dia dateng, dia dateng!"
"Orang sakit jiwa itu masih niat sekolah?"
"Padahal pada ga suka sama dia, kok ga tau diri sih?!"
"Tau tuh, kenapa ga pindah aja? Ngerusak nama baik sekolahan aja."
"Ga tau diri banget, padahal udah dijauhin anak-anak satu sekolahan biar pindah!"
"Tau, pembawa sial aja. Setelah dia masuk, jadi banyak kejadian gaib yang terjadi!"
"Pasti bokap nyokapnya nyesel ngelahirin dia."
Vasilla sudah terbiasa mendengar kritikan peras pada dirinya yang padahal hanyalah fitnah belaka. Yang paling menyakiti hatinya adalah kalimat 'Pasti bokap nyokapnya nyesel ngelahirin dia.'
Vasilla berusaha tidak menoleh dan melirik, namun langkahnya melamban. Tatapan semakin banyak menghunus dirinya terang-terangan.
Langkah gadis itu terhenti didepan tempat duduknya. Meja putihnya dipenuhi debu dan juga terdapat sebuah kertas putih bertuliskan 'Bitch, pergi lo dari sekolahan! Dasar gila!' lalu diatas kertas itu terdapat beberapa bangkai kecoa.
Vasilla sudah terbiasa menghadapi hal semacam ini. Dia diam-diam menghela nafas berat lalu menaruh tas berwarna hijau toscanya keatas bangku tempat duduknya.
Dia menyadari bahwa murid satu kelas sedang menatapnya. Dan begitu Vasilla melangkah masuk, kelas yang awalnya berisik dan ribut mendadak menjadi hening dan sepi.