Vina sepertinya tidak main-main dengan ucapannya siang tadi. Dia mengambil keputusan sepihak untuk terus berjalan pada tujuannya. Tujuan yang sama dengan Rei. Aurio.
Di satu sisi, Rei tak ingin Rio-nya dimiliki orang lain. Namun, dia bisa apa dengan statusnya yang hanya dianggap sebagai sahabat, tidak lebih dari itu. Dan di sisi lain, Rio rupanya memiliki ketertarikan yang sama dengan Seravina. Lantas jika sudah begitu, bagaimana Rei bisa menentang takdir? Dia tak punya kuasa apa-apa.
"Kamu mau pergi, Yo?" tanya Rei ketika melihat Rio berpenampilan rapih hari ini. Terlihat tidak biasa.
Rio mengulas senyum manis, sembari tangannya sibuk membuka bungkusan obat-obatan milik Rei. "Iya, Vina minta aku buat temani dia jalan-jalan, kasihan beberapa hari ini dia gak kemana-mana."
Rei juga tidak pergi kemana-mana, apa dia juga kasihan?
"Ini, diminum dulu obatnya," ujarnya sambil menyodorkan beberapa pil obat serta gelas berisi air mineral. Tak butuh waktu lama sampai pil-pil itu meluncur di kerongkongannya dengan bantuan air.
"Minum obatnya udah, sekarang tinggal istirahat." Tangan besar itu menarik selimut, lalu menutupi sebagian tubuh mungil Rei. "Malam ini aku tinggal, gak apa-apa 'kan?"
Gak boleh!
Harusnya Rei mengatakannya. Sebab, perasaannya malam ini sungguh tidak enak. Namun, pada akhirnya yang terucap oleh lisan Rei adalah sebaliknya. "Iya, gak apa-apa."
Lagi, Rei mencoba bersikap tahu diri. Mereka hanya sebatas sahabat. Dan mungkin selamanya akan begitu. Karena untuk saat ini, kepercayaan diri seorang Pereira mendadak hilang tepat ketika pintu ruangan di tutup.
Rei menatap pintu itu setengah hati. Rasanya berat melepas Rio pergi malam ini. Rei ingin egois. Tapi ... ahk, entahlah! Perasaannya begitu rumit bila harus di ungkapkan detailnya. Jadi, yang bisa dilakukannya hanya berbaring, menatap langit-langit kamar sambil memberengut.
Berada di ruangan serba putih ini lama-kelamaan membuat Rei jenuh. Sungguh. Ia ingin keluar juga. Menikmati angin malam dan kepadatan ibukota ketika gelap. Haruskah Rei pergi?
Sepertinya tidak masalah jika hanya sebentar. Maka, dengan keinginan itu, Rei akhirnya menurunkan kedua kakinya ke lantai. Mulai mengambil kruk, lalu berjalan keluar setelah mengenakan jaket seadanya.
Tiada tempat yang mampu di pikirkannya saat ini. Fokusnya hanya tertuju pada pemandangan di balik kaca mobil, lalu kepalanya tersandar dengan sendirinya. Kemudian saat taksi online membawanya ke sebuah jalan yang ia hafal di luar otak, Rei minta diturunkan di sana.
Gedung pelatihan.
Kepala Rei sedikit mendongak ketika pandangannya mengarah pada salah satu deret jendela di sudut paling kiri tepat pada tingkatan ketiga. Ruang latihannya. Seharusnya di jam ini, Rei masih berlatih di sana. Melatih gerak tubuhnya untuk melakukan berbagai tarian. Mempersiapkan segalanya untuk Olimpiade Musim Dinginya nanti. Tiga bulan lagi. Terhitung 91 hari dari hari ini. Tapi kini, yang bisa di lakukannya hanyalah duduk statis di halte depan. Mendadak sorot matanya menyendu.
Sekilas banyak kata pengandaian yang ingin ia ikut sertakan dalam kalimatnya. Andai saat itu ia lebih berhati-hati, andai saat itu mobil hitam milik Jayden tak pernah muncul dan mengacaukan semuanya, dan ... andai saat itu semesta tidak menciptakan skenario terburuknya pada Rei, maka segalanya mungkin akan berakhir seperti yang di perkirakan. Namanya akan masuk ke dalam jajaran figure skater tingkat dunia. Mengukir asa di landasan es yang selalu menjadi impiannya semenjak kecil. Sampai akhirnya Rei bisa kembali pulang. Ke rumahnya.
"Pokoknya Rei nggak akan pulang sebelum berhasil raih cita-cita Rei!"
Ambisinya begitu besar. Sebesar ketakutannya pada rumah. Karena ketika Rei memutuskan pulang, itu artinya ia menyerah. Sudah tidak ada jalan lagi untuk mewujudkan impiannya jika dia masih di sana. Makanya, sampai sekarang Rei masih enggan pulang, meski sejujurnya dia rindu.
Malam bertambah larut dan sialnya, hujan tiba-tiba turun. Derasnya rinai semakin menahan Rei untuk tidak pergi se-inchi pun dari sana. Baiklah, ia akan menunggu. Entah untuk berapa lama lagi hujan ini membasahi tanah bumi.
Hawa dingin yang merajai tampaknya mulai menginvasi pori-pori kulitnya hingga sedikit menggigil. Malam sudah begitu larut dan Rei masih berdiam diri di sana. Merayakan euphoria sendunya bersama suara rintik yang nyaring.
Setetes air menjatuhi pipinya. Apakah itu air hujan yang merembes dari atap yang bocor? Ataukah ... Rei menangis? Sepertinya begitu, karena linangannya kian menjadi-jadi tatkala angin malam bertiup kencang.
Malam.
Hujan.
Angin.