Busur, anak panah, dan target.
Adalah tiga hal yang tidak bisa dihilangkan dari hidup seorang Jayden Alfa Devaro. Jika ada pertanyaan tentang, "Apa arti tiga benda itu untuk Jayden?" Maka ia akan menjawab, "Sahabatnya."
Jayden masih ingat, satu pertanyaan yang diajukan salah satu reporter televisi nasional waktu acara konferensi pers tahun 2018 silam. "Apa arti panah untukmu?"
Jayden diam sejenak.
"Masa muda," Jawabnya setelah 5 detik bungkam. "Ah, ralat ... segalanya."
Panahan adalah segalanya Jayden.
Meski banyak olahraga lain yang bisa ia lakukan, pada akhirnya Jayden akan tetap memilih panah sebagai jalan hidupnya. Seolah ia memang terlahir untuk itu. Lalu dia akan senantiasa menjadikan lapangan panahan yang terletak di bilangan Jakarta Pusat sebagai rumah. Tempat Jayden menghabiskan waktu paling banyak selain di rumahnya sendiri.
Seperti siang ini, Jayden masih betah memijak tanah hijau asri yang menyegarkan mata. Berdiri tegak dengan sebelah kaki berada pada shooting line alias garis tempat pemanah melakukan release atau melesatkan anak panah ke arah target.
"Break time, Jayden!" seru sesosok pemuda yang baru saja datang dengan satu tangan penuh memegang kantung plastik putih yang disinyalir berisi makan siang mereka.
Rendy -- sosok yang baru datang itu, langsung mengambil posisi duduk di pinggiran area panah. Tangannya sibuk membuka isi dalam plastik itu sembari menunggu Jayden yang kini tengah mencabuti arrow dari papan target. Setelahnya, Jayden bergabung.
Seporsi udang goreng asam manis menjadi menu makan siang mereka. Awalnya acara makan-makan itu berlangsung sunyi, sebelum Rendy mulai bersua.
"Eh iya, Jay ... hari ini lo beneran latihan dari subuh?" tanya Rendy sambil menyendokkan nasi ke mulutnya.
"Kata siapa?" Bukannya menjawab, Jayden malah bertanya balik dengan kening berkerut.
"Pak Ervan," jawab Rendy sedikit kesulitan sebab mulutnya penuh. Hmm ... Pak Ervan memang tidak pernah bisa di ajak kompromi untuk tak mengadukan segalanya pada Rendy. Iya, mantan atlet panah yang kini menjadi pelatih panahan itu suka sekali menjawab apapun yang ditanyakan pemuda sebayanya. Lalu jika ada yang dianggap tidak benar oleh Rendy, maka kawannya itu akan mulai berubah menjadi perempuan bermulut seribu. Yah, kira-kira seperti itu.
Jayden hanya ber-oh ria menanggapinya. Mau bagaimana lagi, dia juga tidak mungkin mengelak atas kebenaran itu. Jayden memang datang pagi-pagi buta untuk latihan. Lelaki itu bahkan selalu melewatkan sarapannya karena terlalu seniat itu.
"Jadi benar?" Rendy tampak terkejut. Bisa dilihat dari perubahan raut wajahnya yang tergugu. Seharusnya ia tak perlu seterkejut itu, karena yang sebelum-sebelumnya pun Jayden sudah biasa melakukannya. Tapi coba bayangkan ya berlatih panahan dengan pencahayaan yang minim, karena matahari pagi bahkan belum naik ke permukaan. Jadi harus setajam apa matanya agar bisa membidik target tepat sasaran? Untungnya Jayden punya caranya sendiri untuk berlatih di keadaan seperti itu.
Pak Ervan saja sampai geleng-geleng kepala saat pertama kali mendapati Jayden menjadi satu-satunya atlet yang berada di sana sepagi itu.
"Waktunya tinggal tiga bulan lagi, Ren. Gue gak bisa leha-leha."
Bukan rahasia umum lagi jika seorang Jayden Alfa Devaro si atlet panah kebanggaan Indonesia ini mempunyai pikiran seperti itu. Jiwa kompetitifnya kuat. Sekuat tekadnya untuk bisa membawa pulang medali emas pada Olimpiade Panahan Internasional di Tokyo nanti.
Rendy mengangguk ketika mendengarnya. Setelah memasukan sesuap makanan ke dalam mulutnya, ia kembali berkata, "Iya iya, ngerti ... kayak biasanya 'kan?"
Eh? Tumben, pikir Jayden dengan sedikit kernyitan samar di dahi.
"Gue paham alibi lo, Jay ...," Rendy memberi jeda selagi ia menelan makanannya. " ... Tapi bukan berarti lo bisa forsir tenaga lo terus. Latihan memang harus, tapi istirahat juga perlu."
"Gue istirahat kok, kalau malam gue juga pasti tidur," sahut Jayden santai.
Rendy menghela napasnya kasar. Sulit memang bicara dengan si ambisius Jayden. Butuh kesabaran ekstra.
"Maksud gue tuh, istirahat yang kayak liburan gitu." Netra Jayden menyipit. Melihat ekspresi itu ditampilkan, Rendy buru-buru menyahut, "Gue udah minta pendapat Pak Ervan, dan dia bilang dengan performa lo yang stabil ini, lo bisa ambil liburan beberapa hari sekalian refreshing."
Kepala pemuda 23 tahun itu menggeleng. Menolak mentah-mentah ide yang menurutnya gila itu. Bagaimana dia bisa liburan kalau setiap detik saja isi pikirannya terisi penuh oleh latihan?
"Nggak bisa, Ren. Gue nggak mau hilang fokus," tolak Jayden sambil meletakkan bungkus sterofoam yang isinya sudah tandas.
"Cuma 3 hari nggak bikin lo lupa caranya manah 'kan?"
"Come on, Jay ... sesekali lo juga harus bisa ngerasain gimana rasanya liburan," imbuhnya.
Jayden bergeming. Jika di pikir-pikir lagi, ia memang jarang merasakan liburan. Setelah mengikuti perlombaan panah, Jayden biasanya hanya menghabiskan waktu satu hari untuk tidur. Benar-benar untuk tidur dan tidak akan keluar rumah sama sekali. Sampai esoknya ia kembali pada rutinitasnya. Berlatih panahan.