"Itu cuma kecelakaan ... itu cuma kecelakaan. Dia gak bakal kenapa-kenapa." Kalimat itu bagai mantra yang di ucap berulang, berharap mendapat ketenangan setelahnya. Namun, nihil. Dia tidak tenang sama sekali.
Ya jelas, siapa yang bisa tenang setelah menabrak orang?!
Dia Jayden, si pelaku yang beberapa saat lalu menabrak seorang gadis ketika sedang lampu merah.
Dia orangnya! Laki-laki yang kini duduk gelisah di depan ruang operasi sambil sesekali mengusap wajahnya gusar. Laki-laki yang merutuki kecerobohannya sendiri dalam hati.
Helaan napas berat dan lelah Jayden embuskan dengan susah payah. Degupan jantungnya yang terus berpacu dengan kencang dan keras makin membuatnya lelah. Ia sudah muak menunggu si Dokter yang tak kunjung keluar. Padahal sudah dua jam berlalu, namun belum ada tanda-tanda pintu putih setinggi dua meter itu akan terbuka. Hati Jayden benar-benar kacau sekarang.
Tepat tengah malam, lorong rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya ada beberapa perawat yang sesekali mondar-mandir. Tapi tetap saja, tidak membunuh sepi sama sekali. Jayden menundukkan kepalanya. Dua jari tangan kanannya bergerak pelan memijat pelipis. Pening menderanya.
"Jayden!" suara berat itu seolah mengusir senyap yang ada. Membuat keadaan lorong terasa agak terisi. Hentak langkahnya yang tergesa sesaat membuat bising. Namun tak bisa di pungkiri bahwa dengan kedatangan lelaki itu, Jayden lega. Sebab ia tidak sendiri sekarang.
"Ren ...." Kepala Jayden terangkat, menyambut keberadaan sahabatnya. Rendy.
"Apa yang terjadi sih sebenarnya?" tanya Rendy menuntut penjelasan.
"Gue gak sengaja ketiduran waktu nyetir," jawab Jayden pelan. Kedua alis Rendy saling bertaut ketika mendengar penuturan dari sobatnya itu. Wajahnya antara mau percaya dan tidak.
"Ini nih ...," Rendy bicara sambil berkacak pinggang. Sesekali dia mengusap kasar wajahnya. "Ini yang gue khawatirin, Jay ... kalau lihat lo terlalu forsir latihan."
"Fokus lo jadi ketinggalan di lapangan!" sentak Rendy yang belum bisa mengendalikan emosinya saat ini. Bagaimana tidak emosi, rencana tidurnya batal total ketika sebuah pesan membuat dia langsung lompat dari ranjang. Mata yang sebelumnya sudah 5 watt mendadak terbuka selebar-lebarnya. Dan seketika itu pula, Rendy langsung tancap gas ke rumah sakit yang sudah di alamatkan via WhatsApp.
"Gue gak tahu kenapa bisa seceroboh ini ... gue ...." Jayden kesulitan menceritakan kejadiannya. Jadi kalimatnya hanya bisa berakhir menggantung. Rendy menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sebelum akhirnya ia menepuk-nepuk pundak Jayden. Mencoba menenangkan, meski dirinya sendiri pun belum bisa tenang sepenuhnya.
Rasa bersalah terlalu jelas di mata lelaki itu. Rendy jadi tidak bisa menyalahkan Jayden lebih jauh. Sebab pastilah sohibnya ini lebih kalut daripada dirinya. Biar bagaimana pun ini semua murni kecelakaan. Mungkin Jayden sedang dalam mode sial hari ini.
"Udah ... sekarang lebih baik lo tenangin diri dulu," ujar Rendy berusaha menenangkan. Walaupun dalam otaknya segala kemungkinan-kemungkinan buruk sudah bersarang tanpa diminta.
"Lo udah coba hubungin keluarganya?" tanya Rendy beberapa saat setelah mereka duduk di kursi tunggu.
Jayden menggeleng lemah. "Belum."
Netra Rendy kemudian menangkap sebuah tas yang ia yakini adalah milik si korban. Karena Jayden tidak pernah punya tas seperti itu.
"Itu tas-nya?" Jayden mengikuti arah pandang Rendy. Lantas ia mengangguk singkat.
"Coba sini, cari siapa yang bisa dihubungin," kata Rendy sambil mengambil tas selempang yang agak besar itu. Mereka membukanya, dan menemukan sebuah ponsel disana.
"Semoga gak di lock," gumam Rendy ketika mencoba menyalakan benda persegi panjang tipis itu. Hatinya lega karena harapannya terkabul. Ponsel si korban sama sekali tidak menggunakan pengamanan apapun. Jadi Rendy bisa dengan mudah membuka kontaknya. Mendadak jemarinya berhenti. Ia menatap kaku ke arah Jayden, seakan baru menyadari sesuatu.
"Yang lo tabrak cewek, Jay?" Intonasinya memang terdengar seterkejut itu.
"Iya," jawab Jayden pelan.
"Wah ... kacau lo, Jay." Setelahnya Rendy kembali fokus pada ponsel putih itu. Sedangkan Jayden kembali menatap jemari Rendy yang sibuk bergerak kesana kemari pada ponsel orang. Atensinya teralih ketika suara Rendy lagi-lagi mendominasi.
"Kok gak ada nomor orang tuanya sih?" Rendy mengernyitkan keningnya dalam. Terlihat kebingungan mencari nomor keluarga si korban. "Heran sih gue, ini cewek namain emak-bapaknya di kontak apaan ya? Dari tadi gue scroll gak ada."
"Coba liat log panggilannya aja, hubungin nomor paling atas," ujar Jayden memberi saran. Rendy menurut, jempolnya bergerak kembali di layar.
"Ada nih, kontak cowoknya kali ya," ucap Rendy menarik seluruh perhatian Jayden. "Aurio namanya."
"Coba telepon." Si lelaki pemegang ponsel pun mengangguk sekilas sebelum mulai menelepon pemilik nama Aurio itu. Beberapa detik berlalu, namun telepon itu tidak kunjung di angkat. Keduanya berdecak sebal karena teleponnya tidak berhasil tersambung. Lantas kedua lelaki itu mulai mencari nomor lain untuk dihubungi.
Sampai akhirnya ....
"Halo, Rei. Ada apa telepon malam-malam?"
Dua pasang mata itu membelalak kaget ketika telepon yang mereka tuju bisa terhubung. Jayden menatap Rendy sekilas. Napasnya tercekat. Jantungnya sudah memburu tak karuan. Ia tak dapat memungkiri bahwa sekarang ia takut. Sangat takut!
Akhirnya mau tidak mau Rendy yang mengambil alih obrolan via telepon itu. Sementara Jayden hanya mendengarkan dengan hati gundah dan penuh penyesalan.