Jangan harap Jayden Alfa Devaro bisa tenang setelah kejadian semalam. Sepulangnya ia dari Rumah Sakit, Jayden tidak kembali ke rumah. Lagi-lagi tempat yang ia kunjungi adalah lapangan panahan. Tempat itu sepertinya menjadi destinasi pertama Jayden ketika pikirannya sedang kacau.
Sudah sekitar lima jam Jayden berkutat dengan busur beserta anak panahnya. Melakukan sekitar 100 kali release atau bahkan lebih? Entahlah yang pasti lelaki hilang akal itu telah membuat dua papan target terkoyak habis-habisan.
Beberapa orang di sekitar, tak ada yang berani mengganggu Jayden sedikit pun. Caranya memanah bak pemburu liar kesetanan. Tidak bisa dihentikan! Tatapannya yang menggelap hanya tertuju pada target sejauh 20 meter di depan sana. Tangannya juga sempat mengalami keram 3 kali karena terlalu keras memaksakan otot lengannya. Namun, semua itu tak membuat Jayden berhenti.
Panah.
Jayden jadikan hal itu sebagai satu-satunya distraksi. Setiap kali ia memiliki masalah, setiap kali kekecewaan menghampirinya, atau ketika kesedihan datang, Jayden Alfa Devaro akan bergantung pada kedua alat itu untuk menghilangkan segala kekalutannya pada hidup. Sebab, saat Jayden mulai menarik string, ia seakan mengumpulkan segala bebannya. Kemudian ketika ia membidik, Jayden akan membayangkan tempat mana yang paling ideal untuk membuang seluruh rasa yang memang layak untuk dibuang. Lalu waktu anak panah itu Jayden lepaskan dan melesat jauh, semua bebannya tiba-tiba hilang ke tempat pembuangan yang di tuju.
Jayden berhasil membuang semuanya. Kecuali, hari ini. Kecuali perasaan bersalahnya yang ia harapkan bisa hilang seketika. Kecuali wajah gadis cantik bernama Rei yang terbaring lemah karenanya.
"AARGGHH!" Lelaki itu mengerang frustasi sembari menjambaki rambutnya hingga rontok beberapa helai. Bukti betapa kuatnya tarikan tangan Jayden.
"Jayden!" Pak Ervan berlari dari pinggir lapangan setelah sebelumnya sibuk memperhatikan Jayden dari jauh. Pria dewasa yang usianya nyaris berkepala empat itu terlihat khawatir. Pasalnya Jayden tak pernah se-frustasi ini sebelumnya. Jadi ia sempat heran. Masalah macam apa yang mampu membuat atlet didikannya seperti itu?
"Tenangin diri kamu!" seru Pak Ervan dengan sedikit penekanan pada kalimatnya.
Tubuh Jayden merosot menghantam tanah berumput yang hijau segar. Tenaganya hilang. Menyusul akal sehatnya yang sudah lari entah kemana. Dengan wajah pucat pasi, Jayden menatap pelatihnya dengan pandangan memohon.
"Coach ... saya harus pergi hari ini." Dengan banyak pertanyaan lain yang muncul di otak Pak Ervan, pria itu pun mengangguk mengizinkan.
***
Sekali lagi, bukan rumah tempatnya berpulang. Melainkan ruangan nomor 1306 yang menjadi tujuannya siang ini.
Ya, Jayden Alfa Devaro kembali kesana. Namun, hanya sampai depan pintu. Karena ia masih belum berani untuk masuk ke dalam dan bertemu sosok yang menjadi alasan kepalanya hampir pecah sejak semalam.
10 menit ...
20 menit ...
30 menit ...
1 jam ...
2 jam ...
Tubuh Jayden masih ada disana. Berdiri dengan kaki yang hampir mati rasa. Otaknya berhenti bekerja. Hanya jantungnya yang masih berdetak dalam tempo cepat. Menyiksanya dengan perasaan gelisah yang enggan pergi.
Lagi-lagi Jayden kembali memikirkan satu hal. Apa dia memang harus menyerahkan diri? Tetapi sesuatu dalam dirinya menolak mentah-mentah. Egonya yang berkata demikian.