SKACHERY

Hasna Khairunisa
Chapter #4

#4. Definisi Kehilangan

"Rio, tungguin Rei!" Gadis manis berusia sebelas tahun itu tampak kesulitan menyamakan langkah dengan si laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya.

Aurio Louvin Andaru.

Rio-nya Rei.

"Rei lama sih." Rio terkekeh seraya menghentikan langkahnya. Menunggu Rei yang meluncur dengan sepatu Skating merah mudanya di belakang sana. "Sini, kuajarin gimana caranya meluncur cepat."

Mata bulat Rei tampak berbinar. Namun ada bingung yang sekaligus terpancar di iris hazel itu. Membuatnya terlihat menggemaskan di mata Rio. "Gimana caranya?"

"Sini, gandeng sini," ujar Rio sembari mengulurkan tangannya. Tentu saja Rei tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bergandengan tangan dengan Rio-nya. Itu kesempatan emas!

Haha, dasar anak SD!

Mereka pun meluncur bersama. Di mulai dengan langkah pelan, lalu semakin cepat dan makin bertambah kecepatannya. Meninggalkan jejak berupa pola-pola lurus dengan sedikit kelokan di atas es.

"Rio, jangan kecepetan ... Rei takut jatuh," cicit si gadis mungil berkucir kuda. Rio masih saja terkekeh. Entah apa yang lucu baginya.

"Belajar itu jangan takut jatuh," sahut Rio lembut. Kakinya berhenti meluncur, lalu menghadap ke arah Rei yang kontan ikut menghentikan pergerakan kakinya. "Rei harus hilangin kata takut dalam hidup Rei kalau mau mencoba sesuatu."

"Tapi nanti kalau jatuh sakit, Rei gak suka." Kalimat lugu itu terlontar begitu saja. Alhasil tangan Rio sedikit mengusak rambutnya hingga agak berantakan. Lagian siapa suruh terlalu menggemaskan?

"Ya, kalau jatuh tinggal bangun lagi, belajar lagi, sampai Rei bisa buat gak jatuh."

"Rei takut luka. Kalau jatuh pasti luka," ujar Rei polos. Tawa Aurio Louvin Andaru akhirnya pecah juga. Tidak lama, karena setelahnya tawa itu tergantikan oleh senyum super manis bak permen kapas yang ada di pasar malam.

"Kalau gitu Rei jatuhnya ke Rio aja, biar gak luka."

Iya, Yo ... Rei udah jatuh. Tapi Rio gak ada. Lukanya jadi sakit.

***

"Rio ...." Suara itu melirih mengisi ruangan bersama instrumen River Flows in You milik Yiruma yang baru saja berganti.

Seiring mengalunnya dentingan piano yang merdu itu, kesadaran Rei perlahan pulih. Katupan mata terbuka dalam tempo lambat. Gadis itu berkedip beberapa kali sampai akhirnya kedua mata bulatnya terbuka sempurna.

"Aurio ...." Nama itu disebut lagi. Namun, Rei langsung menutup mata ketika menyadari bahwa tadi dirinya sedang bermimpi. Bayangan Rio yang baru saja ditemuinya hanyalah bagian dari bunga tidur. Karena nyatanya, Rio-nya tidak ada di sana. Rio-nya masih di tempat yang jauh. Lantas Rei berharap supaya ia dapat kembali tidur agar mimpinya tidak berlalu secepat itu.

Tubuh kaku Rei membuatnya tidak nyaman. Bergerak pun sulit karena rasanya memang sepegal itu. Hanya tangannya yang mampu bergerak. Jadi ia meraba-raba sekitar, kemudian jemarinya menemukan sebuah tangan besar yang hangat.

Kelopak matanya terbuka lagi. Kali ini pandangannya beralih pada sesosok laki-laki bersurai coklat tua yang tengah tertidur dengan kepala membelakanginya. Rei jadi tidak bisa melihat seperti apa rupa itu. Tapi entah kenapa, senyum seketika terpatri di wajahnya. Seakan ia senang dengan keberadaan si lelaki di sisinya.

Kemudian bibir pucat Rei terdengar menggumamkan sesuatu. "Makasih udah pulang, Yo."

Dan di sisa malam yang ada, Rei terus menggenggam tangan besar itu erat tanpa celah. Sebab ia takut saat pegangannya terlepas, Rio-nya akan pergi jauh detik itu juga.

Jangan pergi ya.

Jangan pergi.

Lalu saat pagi menjelang, Pereira Adia Elvarette lagi-lagi kehilangan. Dia pergi. Memang harusnya ia tak memejamkan matanya semalam. Karena meskipun ia sudah menggenggamnya begitu erat, tangan besar nan hangat itu ternyata mudah terlepas tanpa Rei sadari.

Lihat selengkapnya