Senyap.
Hampir tidak ada suara di ruangan itu. Kecuali bunyi jarum jam yang setia berdetak tiap detiknya. Selaras dengan degupan jantung Jayden Alfa Devaro yang masih terjaga meski sudah lewat tengah malam.
Dia termenung. Memandangi sesosok gadis yang masih larut dalam mimpinya. Cukup lama, setidaknya sampai jarum jam berotasi, menggulirkan malam menjadi dini hari.
Pukul 2 dini hari.
Jayden masih pada posisi yang sama. Dengan sorot mata yang tetap mengarah pada satu objek yang menarik atensinya sedari tadi. Dia belum ingin tidur, walaupun matanya telah merengek minta dipejamkan.
Jayden,
Dia kini berakhir terjebak dalam pikirannya sendiri. Perihal Rio, laki-laki yang harus ia perankan ketika di hadapan Rei. Tidak, Jayden tidak lagi mengeluhkannya. Toh, percuma bukan? Mengeluh tak bisa menyelesaikan masalah.
Jayden hanya kebingungan, bagaimana ia harus berpura-pura jadi orang lain yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. Lantas suara Tante Yoland via telepon beberapa jam lalu, berdengung di telinganya.
"Bersikap lembut pada Rei, dan gak meninggalkan Rei sendirian ... itu yang biasa Rio lakukan."
Apa Jayden bisa?
Bersikap selembut Rio, meskipun sikapnya kadang jauh dari kata lembut? Dia terlalu kaku.
Dan, apa Jayden mampu?
Tetap berada di sisi Rei tanpa meninggalkannya sendirian, walau ia harus merelakan jadwal latihan padahal kompetisinya sebentar lagi?
Mungkin orang pikir itu hal mudah. Tapi untuk Jayden? Ia takut tak cukup baik.
Rio ... kamu ini sepenting apa sih untuk Rei, sampai saya harus pura-pura menjadi kamu buat jaga hatinya? Gumam Jayden dalam hati.
"Rio itu sahabat Rei. Mereka berteman dekat sudah sejak 12 tahun yang lalu kira-kira."
Jayden tergelak dalam hati. 12 tahun? Pantas saja Rio punya arti sebesar itu. Namun, yang membuat Jayden tak habis pikir, hubungan mereka cuma sebatas sahabat? Jayden tidak percaya!
"Rio ... hiks hiks ...."
Tubuh Jayden yang semula bersandar pada punggung kursi, kini menegak siaga. Racauan Rei membuat segala isi pikirannya buyar. Apalagi ketika mendapati ada bulir bening yang mencuat dari ekor mata Rei, Jayden dengan sigap menyeka air mata itu dengan tangannya.
Entah kenapa hatinya mendadak sakit. Suara rengekan Rei dalam tidurnya, bagai sembilu yang menyayat Jayden hingga rasanya begitu perih seakan menibulkan luka tak kasat mata. Akhir-akhir ini perasaan Jayden memang se-krusial itu.
Rio lagi!
Bahkan Rei masih membutuhkan seorang Rio meski di dalam mimpi? Hebat sekali eksistensinya dalam hidup Pereira ini.
Tangan besar Jayden digenggam dengan begitu kuat oleh gadis yang kini terganggu dalam tidurnya. Sepertinya Rei bermimpi buruk. Bisa di tebak dari jalan napasnya yang memburu serta telapak tangannya yang berkeringat dan terasa dingin. Jayden balas menggenggam tangan mungil itu. Lalu mengelus-elusnya perlahan. Berharap si gadis bisa merasa tenang dengan perlakuannya.
Mungkin karena mimpinya terlalu buruk, Rei akhirnya membuka kedua mata. Tubuhnya berusaha bangun, jadi Jayden membantu hingga Rei terduduk di atas ranjang. Melihat Rei dengan air mata yang sudah berlinangan, Jayden dengan cepat menarik tubuh Rei untuk ia dekap. Membiarkan pundak kirinya basah karena Rei menangis tersedu-sedu di sana.
"Hiks hiks ... syukur kamu masih di sini ...." ujar Rei di sela tangisnya. Tangan Jayden kembali bergerak mengusap punggung sempit itu. Entahlah, ia seolah refleks melakukannya. "Jangan pergi Rio."
Jayden bergeming. Mendadak kalimat terakhir yang di ucapkan Tante Yoland tadi, melintas di benaknya.
"Cuma Rio satu-satunya orang yang Rei butuhkan sekarang. Apalagi di kondisi Rei yang seperti ini. makanya tante berharap kamu gak keberatan pura-pura jadi Rio buat sementara, paling enggak sampai Rio pulang nanti."
Cuma Rio satu-satunya.
"Iya, saya gak akan pergi. Saya akan tetap di sini ... jaga kamu."