SKACHERY

Hasna Khairunisa
Chapter #7

#7. Taman Bunga

Setiap orang tentu punya yang namanya tempat kesukaan. Tempat yang paling ingin di kunjungi sesering mungkin. Tempat yang membuat kita merasa nyaman seperti rumah. Dan tempat yang selalu memiliki makna tersendiri, sehingga mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk berada di sana.

Sama halnya dengan orang-orang yang menjatuhkan pilihan pada pantai, pegunungan, kafe, mall, atau tempat-tempat lain menjadi tempat kesukaan mereka, Rei memilih taman bunga sebagai salah satu destinasi favoritnya selain Ice rink.

Mungkin banyak yang suka dengan taman bunga. Dan kebetulan, Rei merupakan satu dari sekian banyak manusia yang juga menyukainya.

Taman bunga.

Taman yang benar-benar harus ada bunganya. Karena ternyata Pereira Adia Elvarette ini suka dengan tanaman berkelopak warna-warni yang indah. Rei tak memiliki bunga favorit yang spesifik. Semua jenis bunga pun dia suka. Bahkan Rafflesia Arnoldi sekalipun, akan Rei tunggu-tunggu kemekarannya di Kebun Raya Bogor.

Dan satu-satunya orang yang memahaminya adalah ...

"Ayo, nanti keburu penuh yang lihatnya. Rei di gendong aja ya biar keliatan."

Dia orang yang akan sangat excited ketika melihat bunga. Dia juga orang yang akan rela menghabiskan akhir pekannya untuk menanami aneka tanaman di pekarangan rumahnya. Seperti menular, Rei akhirnya ikut menyukainya juga.

... Mama.

Bunga selalu berhasil membuat Rei ingat dengan Mamanya. Wanita yang mungkin usianya sudah setengah abad sekarang. Rei memang mencintai gagasan perihal bunga, tetapi alasan dia menjadikan taman bunga sebagai tempat kesukaan ... karena dia rindu.

Kebetulannya lagi, sekarang ia sedang rindu Mamanya. Jadi Rei ingin pergi ke taman untuk menemukan paling tidak satu tangkai bunga. Agar rindunya bisa tersalurkan.

Namun ...

"Lho, kok gak ada bunganya?" Wajah itu tertekuk lesu ketika tak mendapati sesuatu yang dia cari di sana. Ekspektasinya pada taman bunga di pekarangan rumah sakit, hancur begitu saja. Realitanya, rumah sakit dengan halaman luas ini hanya di penuhi rerumputan pendek nan rata. Tanpa ada satu pun bunga yang menghiasi.

"Balik ke kamar aja deh, Yo. Tamannya gak asik," Rei merengut tak bertenaga. Semangatnya sirna seketika. Tanpa di sadari, laki-laki di belakangnya ini sudah mengernyitkan kening heran.

"Balik aja nih?" tanya Jayden memastikan. Yang ditanya hanya mengangguk. Mau tidak mau, tangannya kembali mendorong kursi roda itu memasuki gedung rumah sakit.

Sekembalinya mereka di kamar rawat, Jayden langsung memindahkan tubuh ringan itu ke atas ranjang tanpa kesulitan. Lalu membenarkan posisi Rei hingga menjadi setengah berbaring.

Setelah itu hening.

Jayden diam. Begitupun Rei. Mereka seolah melupakan keceriaan tadi. Ada canggung yang tiba-tiba mengukung.

"Ssttt, Yo," desis Rei membunuh sunyi yang ada.

Jayden menaikkan kedua alis matanya ke atas. "Kenapa?"

"Kok jadi diem-dieman?" tanya Rei setengah berbisik. Jayden terkekeh melihat tingkah Rei.

"Gak tahu, kan kamu yang diem duluan," balas Jayden sama-sama berbisik.

Rei mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan tawa yang ingin keluar. "Kamu yang diem dari tadi, jadi aku ikut-ikutan diem."

"Saya kira kamu masih kesel."

"Kesel? Kapan?" Rei jadi bingung sendiri.

"Tadi waktu di taman."

Yaa, Rei mengakuinya. Tadi dia sempat kesal karena taman di rumah sakit ini tidak sesuai harapan. Ia kira akan ada banyak bunga di sana. Tapi ternyata nihil.

"Sekarang udah enggak kok," sahut Rei, nada bicaranya kembali seperti semula. Tidak lagi bisik-bisik.

"Baguslah," Jayden pun ikut menormalkan cara bicaranya.

Diam lagi. Entah kenapa hari ini mereka jadi terbawa suasana hening. Mungkin karena ruangan itu hanya di huni dua manusia, jadi sepinya agak terasa. Rasanya Jayden ingin menelepon Rendy saat itu juga, memintanya datang untuk menghidupkan suasana.

"Ehmm ... Rio." Jayden menoleh cepat. Manik cokelat tuanya bersitubruk dengan netra Rei yang tengah menatapnya dalam. Lantas Jayden jadi sedikit salah tingkah. Pasalnya dia merupakan perempuan pertama yang memberi tatapan seperti itu pada Jayden. Tak bisa di pungkiri bahwa hanya dengan sorotan dari iris hazel Rei, bisa berpengaruh besar untuk kenormalan detak jantung lelaki itu.

"Semenjak pulang dari Belanda, cara ngomong kamu kok jadi agak kaku ya?" Jayden tercekat mendengarnya.

"Masa sih?" Balasnya kikuk.

"Iya, dari kemarin sih sebenernya. Kamu jadi beda, kayak bukan Rio yang biasanya."

Saya memang bukan Rio, Rei, sahut Jayden dalam hati.

Lihat selengkapnya