Anggrek, kamboja, anyelir, tulip, mawar aneka warna hingga bunga matahari, kini tertata rapih di kamar rawat Rei. Seniat itu memang Jayden menyiapkan semuanya dalam satu malam. Cuma gara-gara perkataan Yoland beberapa jam lalu.
"Setiap kali Rei kangen Mamanya, dia selalu mendatangi taman. Dan biasanya, Rio yang akan menemaninya ke sana."
Dan pagi ini, sebuah taman ada di ruangan Rei. Karena Jayden tidak bisa membawa Rei ke taman, maka dia yang membawa taman itu ke hadapan Rei. Meskipun harus memohon-mohon kepada pihak rumah sakit yang awalnya tak mengizinkan sama sekali. Tapi untungnya dengan bakat negosiasi Rendy, rencananya bisa terlaksana.
"Wah, parah hari ini lo nyusahin gue banget," ujar Rendy sembari merebahkan diri di kursi tunggu. Napasnya tersenggal, karena semalaman ia mengerahkan tenaganya untuk membantu Jayden.
"Tenang, gue gak bakal lupain bantuan lo hari ini," sahut Jayden ikut duduk di bagian pinggir kursi yang masih tersisa tempat.
Serius, Jayden sungguh tidak akan melupakan pengorbanan kawannya ini. Jam sebelas malam lewat saat itu, waktu di mana orang lain harusnya sudah tidur di kasur empuk nan nyaman, sementara Rendy justru malah berkeliling kota Jakarta bersama Jayden. Mencari toko bunga yang hampir mustahil buka. Setelah tiga jam menelusuri jalanan-jalanan ibukota, Rendy akhirnya memutuskan untuk menelepon salah satu teman ibunya yang punya florist di daerah Jakarta Selatan.
Dia tidak peduli jika nantinya ia akan dicap sebagai anak muda tak beretika yang mengganggu jam tidur orangtua hanya untuk membeli bunga. Yang terpenting bagi Rendy adalah, ia bisa menghentikan proses pencarian toko bunga yang tak mungkin buka di tengah malam seperti ini.
Lalu setelah mendapatkan bunga, mereka harus menghadapi peraturan rumah sakit yang super ketat. Beruntung Jayden memiliki teman seberbakat Rendy. Satu jam berkelit dengan petugas rumah sakit, mereka pun diperbolehkan membawa masuk bunga satu pick up ke dalam ruang rawat pasien. Tak berhenti sampai di situ, kedua lelaki itu harus rela naik turun tangga beberapa kali ke lantai tiga.
Haahhh ... membayangkannya saja sudah melelahkan. Tapi mereka benar-benar melakukannya. Dan hanya berdua saja!
Semoga saja Rei menyukainya, agar kerja keras mereka tidak sia-sia.
"Pokoknya habis ini gue mau langsung on the way pulang, mandi, terus tidur seharian," ujar Rendy sembari melirik Rolex Oyster Perpetual yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir pagi dan rasanya ia harus kembali ke rumah untuk temu kangen dengan kasurnya. Jadi Rendy bergegas bangkit dan merampas kunci mobil Jayden tanpa izin.
"Heh, itu kunci mobil gue jangan di ambil!" pekik Jayden tertahan karena tak ingin menimbulkan keributan pagi-pagi buta begini. "Nanti gue naik apa?"
Rendy mendengus seraya memakai jaket bomber hijau army yang sebelumnya ia jadikan bantalan. "Lo mah lebih aman naik taksi online dari pada nyetir sendiri."
"Sialan." Untung Jayden masih ingat kalau Rendy ini baru saja berjasa untuknya, coba kalau tidak? Mungkin lelaki itu sudah Jayden sumpah-serapahi dari tadi.
"Udah ah, gue cabut dulu. Good luck ya ... semoga dia senang." Kalimat terakhir Rendy sebelum melangkah pergi. Menjauh dari pandangan Jayden, lalu menghilang setelah berbelok ke kiri. Sekarang hanya ada Jayden sendiri. Selasar rumah sakit mendadak sepi.
Jayden melirik arlojinya, pukul 4.10 WIB. Ia segera bangkit dari duduknya. Hendak ke minimarket 24 jam di dekat rumah sakit. Berniat membeli kopi dingin atau minuman lain yang bisa membuat kantuknya hilang.
***
Semerbak aroma bunga menggugah Rei dari tidurnya. Di detik pertama ketika ia mulai membuka mata, Rei belum sadar dengan sesuatu yang ada di dalam kamar rawatnya. Namun, pada detik berikutnya ketika ia melirik dengan ujung mata, Rei tersentak kaget mendapati ada banyak bunga tertata di sisi kanan ruangannya.
Tulip putih memenuhi nakas. Terlihat segar dengan vas kaca yang terisi air. Ada juga Anggrek putih yang menghiasi rangka jendela. Sementara di dekatnya, ada beberapa bunga matahari beserta pot-nya yang sedikit lebih besar. Pindah ke samping, deretan anyelir, kamboja, serta mawar aneka warna di tata sedemikian rupa cantiknya. Sembari bangkit dari pembaringan, netra Rei memandangi setiap inchi ruangan dengan takjub. Ia bahkan tak berkedip selama beberapa waktu.
Otaknya bekerja, memikirkan siapa kira-kira orang yang melakukan hal seperti ini. Romantis, pikirnya. Lalu bayangan Rio menghampiri, bersamaan dengan selembar kertas berukuran sedang yang tergeletak di meja kian menarik atensinya.
Taman kecil ini saya buat untuk Pereira. Semoga rindumu lekas terobati. ~Rio.
Kedua ujung bibir Rei tertarik ke atas. Membentuk lengkung paling manis ketika membaca kalimat yang di tulis kecil-kecil itu. Hatinya berdesir luluh. Memang semudah itu membuat Pereira Adia Elvarette tersenyum senang. Dan tepat saat itu pula, pintu terbuka.
"REI!"
Yah ... Rei pikir itu Rio. Ternyata bukan. Dia Radisa, panggil saja Disa. Sahabat Rei sesama Figure Skating. Gadis asal Lombok itu sontak menghambur memeluki Rei yang masih terduduk di ranjangnya.
"Astaga, Rei ... lo bener-bener bikin gue jantungan. Gimana kondisi lo?" Disa bercerocos ria, sedangkan Rei hanya terkekeh kecil. "Jauh lebih baik."