SKACHERY

Hasna Khairunisa
Chapter #12

#12. Memadamkan Ego

Tiga hari berlalu. Namun, belum ada yang berubah dengan sikap Rei semenjak hari itu. Hari yang paling tidak terlupakannya. Karena terlalu seburuk itu, bahkan hanya sekadar mengingatnya saja Rei akan kembali menangis. Lalu, ia hancur lagi dan lagi.

Pereira yang sekarang jadi suka melamun. Bicara seperlunya, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Ah, dan satu lagi ... menatap ke arah luar jendela. Entah apa yang menarik perhatiannya sekuat itu di luar sana. Yang pasti Rei akan memandanginya terus dan terus sampai ia bosan dan memilih tidur.

Tapi untungnya, Rei mulai menjadi sedikit lebih penurut. Seperti di situasi saat ini.

"Rei, minum obat dulu ya," suara Rio mengalihkan fokus Rei pada langit kelabu di luar sana. Gadis itu mengangguk seraya menerima beberapa pil obat dari Rio. Setelah itu menengguknya dengan segelas air mineral.

"Habis ini istirahat aja dulu, nanti jam 2 bangun buat pemeriksaan kakimu," ujar Rio sambil membantu Rei kembali ke tempat tidurnya.

Rei mengangguk pelan. Sesaat dia merasa kasihan dengan Rio yang didiami sejak beberapa hari yang lalu. Harusnya ia senang karena Rio-nya yang asli akhirnya kembali. Tetapi, hatinya sedang tidak bersahabat sama sekali untuk sekadar merayakan kepulangannya.

"Rei ... maaf aku baru sempat pulang. Andai waktu itu handphone-ku gak hilang, aku pasti secepatnya kembali. Maaf, ya ...." Ada ketulusan pada sorot mata Rio ketika mengatakannya. Tatapan manik legam itu, harusnya Rei bisa mengenalinya dengan baik.

"Kamu gak salah, Yo ... jangan minta maaf," sahut Rei. Tangannya beralih menangkap tangan Rio yang bergerak di rambutnya. Kebiasaan Rio.

Ingatan Rei perihal Rio perlahan sudah kembali. Dia tak habis pikir, bisa-bisanya hanya wajah Rio yang tidak ia kenali. Sedangkan selama ini Rei dan Rio benar-benar tak terpisahkan. 12 tahun, bukan waktu yang sebentar untuk saling mengenali satu sama lain. Tapi ini ... sungguh aneh jika Rei mengingatnya kembali.

"Zian udah cerita semuanya ke aku tentang masalah itu, Tante Yoland juga. Dia merasa bersalah lihat keponakannya terpuruk kayak gini Rei," ujar Rio sembari tangannya memainkan helaian rambut panjang Rei. "Jadi, jangan kayak gini lagi, okay?"

"Yo, pernah gak kamu dibohongi sama orang yang paling kamu percaya? Atau, pernah gak sih kamu hidup dengan orang lain yang gak dikenal, tapi kamu mengira dia adalah orang yang selama ini kamu tunggu-tunggu. Dan tanpa kamu sadari, ternyata orang itu yang udah buat kamu kehilangan banyak hal." Rio bungkam. Ia tak mampu berkata apa-apa. Karena ternyata serumit itu situasinya. "Aku cuma butuh waktu buat terima semuanya. Aku butuh waktu buat sembuhin rasa kecewa ini."

Tapi nyatanya, waktu gak berhasil sembuhin aku, Yo.

Jemari besar itu bertautan dengan jemari Rei yang lebih kecil. Mengukungnya dengan erat hingga Rei merasa bahwa sekarang ia tak sendirian. Rio selalu ada bersamanya, di sisinya. "Ayo, sembuh bareng-bareng. Jangan berusaha sendirian, Rei. Aku gak suka lihat kamu kayak gini."

Sembuh bareng-bareng ya ...

Tapi yang luka aku, Yo, bukan kamu. Kamu baik-baik aja dan gak ada yang perlu aku sembuhin.

***

Dingin, sempit, dan terasa sesak. Jayden tidak pernah berpikir bahwa penjara akan menjadi tempat semencekam ini. Kira-kira tiga hari, ia mendekam di sana. Siang malam termenung memikirkan satu-satunya hal yang tidak bisa lepas dari otaknya.

Panah? Harusnya iya, tapi sayangnya bukan itu yang mengganggu pikirannya.

"Jangan pergi ya."

Benar, dia orangnya. Pereira Adia Elvarette.

Kedua tangannya melingkar memeluk lutut. Lalu menenggelamkan wajah di antaranya. Dia tidak tidur, hanya sedang berpikir keras. Namun, suara petugas membuatnya tersentak kaget.

"Saudara Jayden, ada yang ingin bertemu," ujar seorang bapak berseragam cokelat yang kini tengah membukakan gembok supaya Jayden bisa keluar sebentar. Jangan heran dari mana bapak polisi itu mengetahui nama Jayden dengan begitu baik. Tentu saja dari berbagai media berita. Lagipun, ini karena Rendy. Lelaki itu seringkali mengunjungi kantor polisi untuk berdiskusi beberapa hal pada Jayden. Salah satunya ...

"Gue bener-bener gak bisa nahan diri buat gak ke rumah sakit sekarang," suara Rendy agak tertahan saat paham mereka sekarang ini ada di tempat yang sensitif.

Jayden menggeleng cepat. Sungguh tidak setuju dengan keinginan Rendy. "Jangan, Ren ... gue rasa ini cukup pantas buat gue membayar semuanya."

"Jayden, lo jangan gila! Lo gak pantas sama sekali ada di tempat ini!" Rendy menghela napas sejenak untuk mengontrol emosinya yang akhir-akhir ini tidak begitu stabil. "Selama ini lo udah berusaha buat tanggung jawab, Jay. Jadi apalagi? Apalagi yang mau lo bayarkan?"

"Banyak Ren, banyak hal gue renggut dari dia ...."

"Tapi setidaknya --" ucapan Rendy terhenti karena Jayden dengan cepat menyelanya. "Gak ada kata setidaknya, Ren. Yang selama ini gue lakuin ke dia itu kecil. Terlalu kecil untuk jadi sebuah tanggung jawab ...."

"... karena akhirnya, dia gak akan baik-baik aja dengan apa yang udah gue lakukan."

Lelaki bersurai hitam pekat itu mengusap wajah frustasi. Bingung bagaimana lagi cara menghadapi laki-laki keras kepala macam Jayden ini. Rendy mendengus kasar. "Bisa gak sih lo gak keras kepala kayak gini?"

"Terus gimana dengan panah lo? Gimana dengan Olimpiade Tokyo yang lo perjuangankan mati-matian itu? Lo mau menyerah gitu aja?"

Hening tercipta. Sebab Jayden memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Sulit. Terlalu sulit!

Ujung-ujungnya rasa pesimis dari si ambisius Jayden muncul dan mematahkan semangatnya. "Mungkin gue emang harus menyerah."

Lihat selengkapnya