Kalau aku bisa menghajar siapa pun yang menyebabkan seluruh kejadian ini terjadi, kurasa aku bakal melakukannya dengan senang hati.
Bisa-bisanya aku terlibat dengan seluruh kekacauan ini. Kekacauan yang kemungkinan besar bisa menghancurkan reputasi yang sudah kubangun semenjak masuk ke Universitas Garuda Internasional, universitas swasta terbaik di Indonesia. Memangnya mereka tidak tahu bahwa Irene Riadi, mahasiswa peraih excellence award di Universitas Garuda Internasional ini sudah berusaha mati-matian untuk tampil sebagai mahasiswi sempurna?
Oke, pertama-tama, biarkan aku mengaku terlebih dahulu. Aku tidak menyontek. Setidaknya, tidak di ujian kemarin.
Ya, terus terang, kata-kata ‘tidak di ujian kemarin’ cukup ambigu di telinga banyak orang. Pasalnya, sebenarnya aku juga hobi menyontek. Semua nilai yang tertulis di catatan mahasiswaku tidak kudapat dengan kerja kerasku seratus persen. Tapi, aku tidak menyontek di ujian kemarin, dan terus terang, aku juga tidak berniat mengaku di depan petinggi universitas untuk hal yang tidak kulakukan. Enak saja, memangnya aku mau mengakui kalau aku menyontek di ujian statistik ataupun akuntansi manajemen kalau mereka saja tidak berhasil menemukan dalang-dalang yang menyontek dari kejadian tersebut?
Tapi aku tetap tidak bisa tenang.
Maka dari itu, sedari tadi aku berusaha menampilkan wajah poker face selagi berjalan menutup pintu sehabis sesi interogasi di ruang detensi usai. Aku berjalan cepat untuk segera kabur dari tempat ini, melangkahkan kaki secepat kilat menuju ke parkiran mobil.
Tenang. Semuanya akan baik-baik saja.
Dengan keyakinan tersebut, kuputuskan untuk segera pergi ke parkiran kampus. Di saat-saat melelahkan seperti ini, aku hanya ingin pulang ke rumah dan beristirahat. Meskipun energiku sudah dikuras habis akibat interogasi, aku masih punya segudang tugas yang harus diselesaikan sebagai mahasiswa peraih excellence award.
Namun, begitu sampai di depan mobil Nissan Juke putih yang terparkir manis di parkiran kampus, aku malah menemukan sosok sahabatku tengah berada di samping Nissan Juke tersebut dengan penuh air mata. Rambut sohibku yang biasanya cetar membahana kini terlihat kacau bukan main, sementara wajahnya bengkak akibat air mata yang ia keluarkan.
Hilang sudah rencanaku untuk pulang cepat.
Begitu melihat diriku yang tengah berjalan ke arah parkiran, Kim langsung berlari memelukku sambil menangis tersedu-sedu. Beauty influencer yang selalu jadi primadona jurusan manajemen bisnis internasional kini tidak terlihat cetar seperti biasanya. Dengan cepat, aku menyuruh Kim untuk segera masuk mobil dan melanjutkan tangisan atau rengekannya di dalam mobil. Meski memilih tempat parkir yang agak sepi, aku tentunya tetap khawatir ada orang yang bisa melihat kami berdua di parkiran kampus.
“Rene, gue harus gimana?!” Begitu pintu mobil tertutup, Kim langsung berteriak sambil menangis tersedu-sedu. “Hiks, gara-gara kepergok di ujian kemarin, gue sama sekali nggak punya kesempatan untuk membela diri di interogasi tadi! Rene, tolong, gue harus gimana?”
Melihat rengekan-rengekan Kim, aku hanya bisa terdiam sembari mulai menyetir pergi dari kampus. Aku sebenarnya punya kemampuan mengutarakan pemikiran dengan kata-kata yang lebih menenangkan, hal itulah yang membuatku berhasil menggaet hati banyak dosen dan menjadikan diriku peraih excellence award di jurusan bisnis. Aku tahu betul bahwa alasan Kim menemuiku hanyalah satu, ia butuh ketenangan bahwa semuanya bakal baik-baik saja.
Hanya saja, kali ini aku benar-benar tidak punya satu kalimat baik untuk dilontarkan pada Kim.