Begitu aku sampai di ruangan auditorium yang tengah dipenuhi oleh para petinggi universitas dan para panitia dari anggota kongres mahasiswa, seluruh sorot mata menatapku dengan tatapan kurang mengenakkan.
Napasku tersengal-sengal dan kakiku lemas bukan main. Sehabis lepas dari interogasi yang membuatku nyaris terlambat datang ke acara sakral yang sudah kutunggu-tunggu sedari beberapa minggu silam, aku langsung berlari ke gedung sebelah Universitas Garuda Internasional bak orang kesurupan. Auditorium dengan interior marmer hitam dan panggung beserta LCD besar di depan itu sudah dipenuhi banyak orang, dan sepertinya kehadiranku di tempat tersebut malah membuatku menginterupsi jalannya acara yang sudah berjalan beberapa menit sebelumnya.
Begitu para panitia menyadari kehadiranku yang terlambat datang ke kongres, semua sorot mata langsung menatapku dengan tatapan tajam. Salah seorang panitia sesegera mungkin mempersilahkan diriku untuk duduk di salah satu kursi yang sudah dipersiapkan khusus. Sontak, aku langsung menghela napas lega ketika aku menduduki salah satu kursi kulit hitam yang terletak cukup strategis dengan LCD panggung.
Belum sempat menikmati empuknya kursi tersebut, tahu-tahu saja kalimat ini terdengar dari kursi sebelah.
“Sedetik lagi lo telat, si ketua acara kayaknya udah siap ngusir lo dari tempat ini.”
Aku menengok ketika mendapati ucapan tersebut terlontar dari salah satu oknum yang duduk di sebelahku persis. Awalnya aku berniat merutuki balik orang yang melontarkan kalimat itu padaku, namun begitu melihat oknum yang mengucapkan kalimat tersebut, aku langsung mengurungkan niatku.
Laki-laki dengan kacamata tipis tersebut menatapku sembari menopang dagunya. Thomas memberikan senyum datar padaku. Melihat sosok sohib dekatku yang tengah duduk santai di acara tersebut sontak membuatku langsung tenang seketika sembari tersenyum kecil.
“Mau gimana lagi? Ini semua gara-gara skandal nyontek dari oknum-oknum bodoh di jurusan kita. Mana gue dipanggil interogasi agak belakangan lagi. Syukur-syukur gue masih bisa hadir, Thom.”
Thomas menaikkan satu ujung bibirnya. “Kalo Pak Reihan interogasi lo agak belakangan, salah satu kompetitor terberat gue pasti bakal langsung keluar.”
Aku menepuk bahu Thomas. “Sayangnya nggak segampang itu, Thom. It’s okay, lah. Masa lo senang kalo lo menang karena gue didiskualifikasi cuma gara-gara telat datang acara?”
Thomas memberikan senyum tipis. Aku segera mengalihkan perhatian pada rektor Dwi yang sedang memberikan ucapan sambutan pada beberapa kandidat beserta para sponsor universitas yang hadir di acara tersebut. Aku melirik ke beberapa deret kursi di belakang dan mendapati beberapa sosok kandidat finalis utama mahasiswa berprestasi yang juga diundang di acara kali ini untuk pengumuman finalis. Deretan kursi di depan telah dipenuhi oleh banyak perwakilan dari sponsor universitas. Aku tersenyum penuh arti sembari melihat ke arah perwakilan para sponsor.
Pemilihan mahasiswa berprestasi atau brand ambassador di Universitas Garuda Internasional merupakan salah satu acara paling sakral bagiku dan banyak mahasiswa di kampus. Tidak hanya karena acara ini menentukan siapa oknum yang bakal menjadi representasi utama universitas swasta terbaik di Indonesia, acara ini juga merupakan ajang media yang baik untuk mempromosikan nama universitas.
Sebagai universitas elit di Indonesia yang punya segudang sponsor dari perusahaan-perusahaan besar nan terkenal, ajang ini merupakan ajang penting untuk mencari koneksi. Mahasiswa berprestasi terpilih bakal punya banyak benefit yang sangat menguntungkan, beberapa diantaranya adalah beasiswa penuh dari para sponsor selama berkuliah, kesempatan untuk muncul di acara-acara TV untuk promosi universitas, kesempatan untuk kuliah S2 di luar negeri tanpa biaya serta merta kesempatan untuk mengamankan posisi pekerjaan di perusahaan besar dengan gaji minimal dua digit.
Untuk beberapa mahasiswa dengan background agak berkekurangan di Universitas Garuda Internasional, ini kesempatan emas untuk menaikkan taraf hidup, yakni dengan bersekolah di luar negeri tanpa harus mengkhawatirkan biaya sepeser pun. Namun, karena sebagian besar mahasiswa universitas ini berasal dari keluarga kaya, kebanyakan dari mereka tak terlalu berminat pada acara-acara semacam ini. Sementara untuk diriku yang notabene lahir di keluarga dengan high income, kesempatan seperti ini sebenarnya hanyalah kesempatan untuk memperluas koneksi. Terus terang, dibandingkan seluruh orang yang ada di sini, mungkin aku adalah salah satu oknum yang tidak terlalu membutuhkan benefit-benefit tersebut. Orang tuaku sendiri bisa membiayai S2 tanpa harus bersusah payah. Tujuanku hanya satu, aku hanya menginginkan posisi brand ambassador universitas terbaik di Indonesia demi menunjukkan pada kedua orang tuaku bahwa aku lebih layak untuk menjadi penerus perusahaan keluarga ketimbang saudaraku yang lainnya.
“Gimana sesi interogasi lo di ujian tadi?” Di sela-sela acara, aku berbicara pada Thomas. “Gue benar-benar nggak habis pikir dengan orang-orang di jurusan kita. I mean, gue tahu universitas ini punya banyak anak-anak konglomerat kaya berotak kosong, tapi gue nggak habis pikir kalau mereka bakal menyontek dengan cara bodoh seperti itu.”
Pertanyaanku sontak membuat Thomas menaikkan alis. Lelaki itu membenarkan kacamatanya dengan senyum tipis. “Lo bilang begitu seakan-akan lo bukan anak orang kaya, Bel, tapi gue akui lo memang berbeda dari mereka. Terus terang, memangnya yang lo harapkan dari anak-anak manja dengan bekingan keluarga, Bel?”