Sialan, sialan, sialan!
Dinding pengumuman di lantai lima yang notabene merupakan lantai khusus jurusan kami sedang ramai bukan main. Nyaris tiga puluh orang mahasiswa sedang berkumpul di depan papan pengumuman dengan perasaan campur aduk melihat nama-nama mahasiswa yang dianggap terlibat dalam kejadian menyontek massal tertulis di kertas pengumuman tersebut. Awalnya aku berniat kabur ke kelas secepat mungkin demi menghindari keramaian tak jelas ini. Namun, begitu mendengar celetukan bahwa namaku juga tertulis sebagai salah satu mahasiswa yang terlibat dalam skandal tersebut, tak urung aku langsung menerobos kerumunan dan melihat papan pengumuman dengan saksama.
Aku nyaris tak percaya tatkala melihat namaku tertera di surat pengumuman mahasiswa yang dianggap terlibat dalam skandal menyontek kemarin. Ada dua puluh enam nama yang sudah terbukti terlibat dan empat nama yang masih dalam penyelidikan di surat terbuka tersebut, dan namaku termasuk sebagai salah satu mahasiswa yang masih dalam proses penyelidikan serta terancam tidak lulus mata kuliah analisis kuantitatif!
Rasanya aku ingin pingsan seketika. Yang benar saja, aku tidak terlibat di kejadian kali ini! Namaku bahkan tidak terdaftar di group chat milik Kim, lantas, mengapa namaku bisa tertera di kertas tersebut?
Aku berusaha menenangkan diri. Hanya ada ada dua kemungkinan yang bisa kupikirkan.
Satu, dosen fakultas melakukan kesalahan saat sedang mengetik nama-nama para mahasiswa yang terlibat di kejadian kali ini, dan mereka dengan tololnya mengetik nama Irene Riadi di kertas pengumuman tersebut. Oke, aku tahu bahwa dosen fakultas tidak tolol dan mereka tidak akan melakukan kesalahan sembrono seperti itu, jadi mari kita singkirkan kemungkinan pertama ini.
Dan yang kedua, kemungkinan yang paling besar dan paling masuk akal. Seseorang pasti menyebut namaku sebagai salah satu oknum yang menyontek pada saat interogasi berlangsung.
Tapi, pertanyaannya, siapa yang berani menyebut namaku selama interogasi sampai-sampai para dosen memutuskan untuk meletakkan namaku di atas kertas?
Aku tahu betul wajahku sedang nampak tolol bukan main karena sedang dilanda rasa depresi akibat dianggap terlibat dalam kejadian ini. Beberapa anak jurusan kami yang divonis tidak terlibat dengan skandal ini memandangiku dengan iba, sekaligus dengan tatapan menghakimi.
Oke, first things first, aku harus melarikan diri dari orang-orang ini. Aku ingin menangis, tapi harga diriku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Imej-ku sudah hancur tak karuan karena dianggap terlibat pada kejadian ini, setidaknya aku harus menampilkan wajah penuh kekuatan agar tidak direndahkan orang-orang.
Jadilah, aku memutuskan untuk berlari ke arah ruang para dosen jurusan kami, yang omong-omong, sudah dipenuhi dengan banyak orang. Terus terang, aku tidak kaget, mengingat pastinya banyak mahasiswa yang masih berharap bisa mengembalikan nama baik mereka meski jelas-jelas terlibat di group chat milik Kim. Namun, sebelum sempat melangkah lebih lanjut, aku baru menyadari bahwa adanya teriakan keras dari dalam ruangan dosen.
“Ini benar-benar nggak masuk akal!” Abel menatap para dosen yang berada di hadapannya dengan tatapan penuh pertanyaan. Dari luar jendela, aku bisa melihat ruang para dosen yang dipenuhi ketegangan begitu suara oknum tersebut meninggi. “Saya nggak menyontek sama sekali. Kenapa nama saya bisa masuk dalam kategori sedang dalam penyelidikan?”
Oke, itu Abel Daniswara, si peringkat satu yang wajahnya hobi mejeng di acara-acara penting universitas, dan wow, mahasiswa hebat seperti dia juga dianggap terlibat dalam kejadian ini?
Oke, kini aku mulai merasa ada yang salah dengan penyelidikan para dosen kampus.
“Saya butuh penjelasan. Apa ada alasan kuat yang membuat saya cukup pantas untuk dianggap menyontek?” Abel kembali bertanya dengan penuh kekesalan.
“Abel, kami akan menjelaskan semuanya terlebih dahulu. Tolong tenang.” Di depan Abel, terlihat sosok Bu Anna yang sepertinya agak kewalahan menghadapi banyaknya mahasiswa yang kini mulai muncul di ruangan tersebut.
“Bu, nama baik saya dipertaruhkan di sini. Gimana mungkin saya bisa tenang?”
Beberapa mahasiswa lainnya yang sedang menonton perdebatan tersebut kini jadi semakin ricuh. Sementara itu, tak ada tanda-tanda dari Abel untuk berhenti mempertanyakan keputusan para dosen untuk menjadikannya salah satu oknum yang tengah dicurigai. Terus terang, aku sama sekali tidak kaget dengan tindakan Abel. Faktanya, aku yakin betul kalau bukan Abel, aku-lah yang bakal jadi tontonan masyarakat umum ketika hendak melabrak para dosen di ruangan mereka.
“Tolong jaga sikapmu, Abel.” Di tengah kericuhan tersebut, terdengar suara tegas Pak Reihan dari belakang Bu Anna dan para dosen lainnya. “Dan kalian yang lainnya juga. Keputusan kami terhadap orang-orang yang sudah terbukti terlibat di group chat tersebut tidak bisa diubah. Seharusnya kalian bersyukur hanya dikenakan sanksi tidak lulus mata kuliah dan bukan drop out!”