Siapa pun yang menyebutkan namaku selama interogasi kemarin sedang bermain-main dengan orang yang salah.
Aku nyaris tertawa penuh amarah ketika mengingat-ingat segala hal yang terjadi pada hari ini. Dimulai dari fakta bahwa namaku dianggap terlibat sebagai salah satu orang yang menyontek selama ujian kemarin, sampai fakta bahwa aku harus membuktikan alibi untuk melepaskan diri dari hukuman yang bisa menimpaku. Aku tidak menyangka bahwa bahkan dengan sederet prestasi yang kumiliki, para dosen rupanya masih mempercayai testimoni tanpa dasar tersebut dan menyeretku sebagai salah satu mahasiswa yang mungkin bakal kehilangan pamornya sebagai peringkat pertama di jurusan ini.
Kini aku dalam masalah besar. Baik gelar peraih IPK tertinggi serta nama baikku di kampus yang jadi taruhannya, dan yang lebih menyebalkannya lagi, semua kekacauan ini harus terjadi di tengah-tengah masa-masa krusial untuk memenangkan gelar mahasiswa berprestasi di Universitas Garuda Internasional. Kalau sampai pihak juri tahu aku sedang terlibat dengan kejadian semacam ini, aku berani jamin mereka pastinya bakal menyuruhku mundur dari pemilihan.
Ditambah lagi, kalau sampai berita ini terdengar ke telinga keluargaku, aku pasti dianggap anak tak berguna.
Holy shit. Perfect timing.
Oke, tapi sekarang aku harus berpikir rasional terlebih dahulu. Aku masih punya kesempatan untuk mengembalikan nama baik, dan terus terang, aku memang tidak menyontek. Jadi seharusnya tidak sulit untuk mengumpulkan bukti.
Aku beranjak dari kursi, berniat untuk pergi dari ruangan detensi dan segera kembali ke rumah untuk segera mempersiapkan diri pada idea pitching yang akan diadakan beberapa hari lagi, sebelum akhirnya mendengarkan suara di ruangan tersebut.
“Ini nggak fair sama sekali! Bisa-bisanya mereka menuduh kita tanpa bukti yang jelas!” Jiggy, salah satu mahasiswa yang berada di ruang detensi, mengucapkan kalimat tersebut sembari memukul meja dengan keras. “Kalian nggak merasa ini nggak fair?”
Sontak, aku menghentikan niatku untuk pergi dari ruang detensi.
“Jelas nggak fair.” Satu-satunya gadis yang berada di ruangan tersebut menyahut. Dengan rambut ikal sepunggung yang dicat dengan warna brown caramel serta parasnya yang cantik, aku langsung menyadari kehadiran gadis ini sedari awal memasuki ruang detensi. Siapa lagi kalau bukan Irene Riadi, peraih excellence award yang berhasil mengalahkanku di pemilihan excellence student tahun lalu? “Tapi mereka udah ngasih kita kesempatan untuk membuktikan alibi di sidang nanti. Don’t you think it’s good enough?”
“Apa nggak sebaiknya kita kerja sama?” saran Jiggy persuasif. “Nama baik kita lagi dipertaruhkan! Gimana kalo kita demonstrasi dan nyebarin ini ke mahasiswa lainnya kalau kita dituduh tanpa bukti yang jelas?”
“Lo goblok atau gimana, sih?” Sebelum aku sempat menolak saran bodoh tersebut, Irene sudah menjawab terlebih dahulu. “Justru kalau kasus ini blow up ke mahasiswa jurusan lain, kita malah bakal langsung dijatuhi hukuman tanpa tindakan lebih lanjut. Lo dengar sendiri kalo Pak Reihan ingin menyelesaikan masalah ini tanpa atensi pihak lain. Para dosen pasti nggak mau pamor mereka jatuh. Masih bagus para dosen berniat untuk menyelidiki kejadian ini dan ngasih kita kesempatan untuk lolos.”
Oke, gadis ini memang pantas mendapatkan gelar excellence award. Setidaknya dia cukup cerdas untuk menolak saran si ketua BEM yang rupanya tidak terlalu pintar.
Namun, bukannya diam, si ketua BEM malah membalas dengan nada tinggi. “Kalo kita blow up ke mahasiswa jurusan lain, kita bisa lolos dengan menggunakan reputasi kita sekaligus ngasih pelajaran ke dosen-dosen goblok tersebut. Orang-orang tentunya nggak bakal percaya kalo gue yang ketua BEM, lo yang peraih excellence award, si Abel yang selalu jadi peringkat satu dan Brandon yang notabene anak tunggal donatur utama universitas ini bisa terlibat dalam skandal menyontek. Keputusan para dosen pasti bakal diragukan dan kita bakal punya alibi!”
Meski tidak begitu kenal dengan si ketua BEM, aku agak tersanjung mendengar fakta bahwa dia rupanya mengenalku sebagai peringkat pertama di jurusan kami. Tapi terus terang, kenapa orang semenyebalkan ini bisa jadi ketua BEM? Dan kenapa pula kita harus menyebarkan skandal ini ke pihak lainnya demi mendapatkan alibi? Orang-orang yang tidak menyontek pastinya bakal berusaha menekan berita ini agar tidak terdengar ke pihak luar dan memberikan bukti yang mantap di sidang berikutnya. Kenapa ia malah bersikeras ingin menyebarkan berita ini ke publik?
Aku tersenyum penuh cemooh. Dalam sekali lihat saja sudah jelas kalau si ketua BEM ini sepertinya terlibat dalam skandal menyontek dan tengah berusaha meloloskan diri dengan menggunakan popularitasnya sebagai ketua BEM.
Irene tertawa pelan. Sama sepertiku, sepertinya ia juga menyadari rencana Jiggy. “Kalo lo mau cari alibi dan bukti, harusnya lo tanya ke pacar lo. Kim yang jadi tersangka utama kejadian ini seharusnya bisa kasih lo alibi yang jelas.”
Raut wajah si ketua BEM langsung berubah seketika.
“Bran, kenapa lo santai banget? Gue kan sohib lo. Lo harusnya bantuin gue berdebat ngelawan si cewek nyebelin ini!” Jiggy sepertinya mulai merasa terpojok dengan ucapan Irene. Ia berdiri dan menepuk bahu Brandon Halim yang sedari tadi hanya duduk sambil memainkan ponsel. Anak konglomerat itu sepertinya tidak peduli dengan percakapan di ruangan ini sama sekali. “Lo harusnya paham, dong. Ini masalah krusial banget, cuy! Reputasi gue sebagai ketua BEM dipertaruhkan di sini!”
Ugh, cringe. Lantas memangnya kenapa kalau dia ketua BEM? Ia pikir yang lainnya tidak punya reputasi yang ingin mereka jaga?
Sorot mataku kini beralih pada Brandon Halim, salah satu mahasiswa paling terkenal di kampus yang kelihatannya santai-santai saja dari tadi. Sedari awal, aku langsung menyadari sosoknya di ruang detensi. Brandon mungkin tidak mengingatku, tapi kami beberapa kali bertemu di acara networking party perusahaan-perusahaan besar yang melibatkan HI Group dan Daniswara Corp. Dibandingkan dengan Daniswara Corp, HI Group tentunya berada di level yang sangat berbeda. Brandon tidak mengada-ngada ketika ia bilang keluarganya mengelola perusahaan dengan revenue tertinggi di Indonesia.
Maka dari itu, tentu saja Brandon bisa bersikap santai, keluarganya kan konglomerat besar. Lihat saja pakaiannya dari ujung kepala sampai ujung kaki, semuanya barang branded kelas top tier. Mataku diam-diam melirik ke arah tangan kiri Brandon, yang menampakkan jam tangan Rolex Submariner yang berharga sekitar seratus juta rupiah. Terlibat dalam skandal semacam ini tentunya bukan masalah bagi seorang anak konglomerat dari keluarga manja seperti Brandon Halim. Tak lulus kuliah ataupun mengulang mata kuliah analisis kuantitatif tak bakalan membuatnya kehilangan posisi sebagai penerus utama HI Group. Apalagi, dengar-dengar ia juga anak tunggal dari pemilik HI Group.
“Jiggy, lo tahu nggak apa cara yang lebih gampang untuk menyelesaikan masalah ini tanpa harus melibatkan pihak lainnya?” Brandon meletakkan ponselnya, kemudian berbicara dengan tenang. “Sogok aja si Reihan. Si dekan kolot itu nggak mungkin nolak mengingat reputasinya sebagai dekan yang jadi taruhannya di sini. Mumpung berita ini belum menyebar luas, kita masih punya kesempatan buat lolos. Sorry to say, tapi kalo lo nyebarin ini dan berniat menggunakan kekuatan massa, yang ada malah imej kita yang jatuh.”
Tidak seperti dugaanku, aku cukup terkejut mendengar rencana yang Brandon sarankan. Brandon mengucapkan saran itu dengan sebegitu mudahnya seakan-akan memberikan uang suap adalah hal yang biasa ia lakukan di kampus. Aku tahu dia anak dari perusahaan donatur universitas ini, tapi tak kusangka ternyata dia punya kekuatan sebesar itu. Sejujurnya, kukira suap menyuap hanya terjadi di politik kelas atas, seperti di pemerintahan atau gedung DPR contohnya, tapi tampaknya hal ini juga lumrah terjadi di kampus kami.
Pertanyaannya, untuk apa melakukan hal semacam itu kalau ia memang tidak menyontek?
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dalam sekali lihat saja, sudah jelas kalau Brandon sepertinya juga menyontek di ujian kali ini.
“Lo serius, Bran?” tanya Jiggy sembari menaikkan alis.
“Serius, dong. Skandal beginian lebih baik dihadapi dengan se-lowkey mungkin. Let me handle this alone.” Brandon meraih ransel Dior yang ia bawa sedari tadi, sebelum akhirnya mulai melangkah menuju pintu di ujung ruangan. “Karena kalian bertiga juga terlibat, anggap aja kalian berhutang budi sama gue, oke? Gue bakal membereskan masalah ini dan kita nggak perlu menjalani sidang tersebut. Gampang, bukan?”
“Apa yang bikin lo yakin banget kalo Pak Reihan bakal melepaskan kita dari hukuman dengan sogokan lo?” tanya Irene sambil melipat kedua tangannya. “Jujur, menurut gue lo nggak perlu bertindak sejauh itu. Kalau lo memang nggak menyontek, yang perlu lo lakukan hanya membuktikan alibi lo di sidang berikutnya.”
Terdengar keheningan di ruangan tersebut selama beberapa saat. Diam-diam aku mengagumi Irene Riadi yang sedari tadi punya pemikiran yang sama denganku. Sepertinya gadis ini tidak menyontek. Dia terlihat tenang saat mendengar kalau kami masih punya kesempatan untuk mengembalikan nama baik kami. Sudah jelas kalau gadis ini sepertinya juga sepertinya cukup percaya diri untuk membuktikan alibinya di sidang minggu depan.
Jiggy menyahuti Brandon tanpa memedulikan ucapan Irene. “Kalau lo salah langkah, Bran, si Reihan malah mungkin ngasih hukuman lebih berat ke kita karena lo berusaha nyogok dia. Lo gak merasa rencana gue lebih baik? Kita pakai kekuatan massa dan paksa dosen buat melepas hukuman.”
Ya ampun. Aku nyaris menggelengkan kepala saking bingungnya dengan oknum satu ini. Bisa-bisanya orang ini masih menyarankan rencana bodoh itu. Sepertinya selain keras kepala, si ketua BEM juga mengidap sindrom budek.