Situasi ini ternyata jauh lebih gawat daripada yang kupikirkan.
Satu hari setelah unggahan skandal menyontek itu viral, area gerbang utama kampus langsung dipenuhi dengan banyak wartawan dari TV nasional maupun lokal yang memutuskan untuk meliput sekolah kami. Begitu memasuki gerbang kampus, para petugas keamanan universitas menanyakan kartu bukti pelajarku dan semua pelajar lainnya sebelum memperbolehkan kami masuk. Sepertinya pihak kampus berniat mempererat keamanan agar para wartawan maupun orang awam tidak semena-mena memasuki area internal.
Tapi bukan itu situasi gawat yang sedang kubicarakan.
Seusai berbincang-bincang dengan Irene dan pulang ke rumah, aku mendapati bahwa notifikasi media sosialku meningkat drastis. Baik dari segi followers maupun jumlah komentar. Begitu membuka akun Instagram, aku langsung mendapati beberapa komen hujatan di sana.
“Tukang nyontek nggak pantas masuk Universitas Garuda Internasional!”
“Kirain beneran pintar, ternyata nyontek.”
“Malu-maluin satu negara tahu nggak?”
Holy shit. Rasanya aku ingin lompat ke lubang terdekat.
Ini semua gara-gara oknum sialan yang menyebarkan skandal ini ke media sosial. Seakan-akan mengunggah kronologi kejadian saja tidak cukup, oknum tersebut bahkan memutuskan untuk mengunggah foto kertas pengumuman yang dipajang di dinding pengumuman jurusan kami beberapa hari silam, dan berisikan nama-nama lengkap dari mahasiswa yang terlibat di kejadian ini.
Kalau saja unggahan tersebut tidak viral, aku bisa menganggap ini sebagai angin lalu semata. Faktanya, kini unggahan tersebut sudah mendapatkan sekitar lima ratus ribu like di X. Belum lagi ditambah adanya beberapa akun lainnya yang turut serta menyebarkan berita ini di media sosial lainnya seperti TikTok, Instagram dan sebagainya. Alhasil, sosial media mahasiswa yang terlibat kini jadi santapan empuk netizen.
Ini benar-benar masalah besar. Padahal aku bukan public figure dan aku juga jarang menggunakan media sosial, tapi fakta bahwa aku menerima hujatan di kolom komentarku telah membuktikan satu hal. Skandal ini meledak gila-gilaan.
Maka dari itu, alih-alih nongkrong di sekitar ruang kelas dan koridor jurusan yang dipenuhi dengan banyak orang, aku memutuskan untuk melarikan diri ke perpustakaan kampus. Aku perlu menenangkan diri dan berpikir secara rasional. Ditambah lagi lebam di wajahku belum hilang. Aku tidak ingin menarik perhatian banyak orang dengan berkeliaran di kampus. Melihat tabiat mahasiswa kampus kami yang lebih hobi nongkrong di mall terdekat, tentu saja perpustakaan kampus adalah opsi terbaik untuk menyendiri.
“Muka lo kelihatan stres banget.”
Di tengah kesibukanku membaca komentar penuh kebencian dari netizen sembari menikmati keheningan perpustakaan, tahu-tahu saja muncul sosok Irene yang menempati bangku di sebelahku. Terus terang, aku tidak menyangka bakal bertemu dengan Irene di perpustakaan. Dilihat dari gerak-gerik gadis ini, sepertinya dia juga berniat ngumpet di perpustakaan agar tidak menarik perhatian.
Aku mendengus kesal mendengarnya. “Ngapain lo di sini?”
“Sinis banget. Memang lo doang yang boleh nongkrong di perpustakaan?”
Ada keheningan sejenak di antara kami berdua, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memecahkan keheningan tersebut. “Lo kelihatan tenang untuk ukuran orang yang sedang ada di ujung tanduk.”
“Gue tenang karena gue yakin kalau gue bisa membuktikan alibi gue.” Irene menjawab, kemudian membuka laptop yang ia bawa. “Gue hanya nggak menyangka kalau gue bakal jadi public figure dadakan gara-gara ini.”
“Lo juga dapat komen-komen hujatan di Instagram?”
“Iya, dong. Lo bayangin aja, gue sampai harus gembok akun gue,” gerutu Irene dengan suara kecil. Meski tidak ada orang di perpustakaan selain kami, beberapa orang di perpustakaan yang terlihat sibuk dengan dunia mereka sendiri dan satu petugas perpustakaan di ujung ruangan, kami berdua cukup sadar untuk berbicara dengan suara pelan agar tidak menarik perhatian. “Gue jamin siapa pun yang nulis thread sialan itu hidupnya nggak bakal tenang.”