Skandal Universitas

Nikita Luisa
Chapter #9

Bab 8 - Irene Riadi

Jika bisa menyebutkan satu orang yang paling menderita akan seluruh kejadian ini, aku rasa Kim orangnya. 

Sejak pertengkaran kami beberapa hari silam, kami tidak saling bicara. Aku menghubunginya beberapa kali lewat WhatsApp, tapi Kim tidak merespon sama sekali. Setiap kali aku berpapasan dengannya di kelas atau koridor kampus, gadis itu malah menjauhiku. Alih-alih duduk di sebelahku seperti biasanya, ia memutuskan untuk duduk di ujung ruangan sendirian. Meski Kim tetap muncul di kampus, ia tidak banyak bersosialisasi dan memilih untuk tidak menarik perhatian siapa pun. 

Kim dinyatakan terbukti terlibat sebagai pelaku utama skandal ini, dan karena ulahnya yang sembrono selama ujian, para dosen juga berhasil menangkap dua puluh lima orang lainnya yang juga tergabung dalam group chat ujian yang dilaksanakan pada hari itu. Alhasil, baik Kim dan dua puluh lima orang lainnya mendapatkan sanksi tidak lulus mata kuliah, penarikan gelar cumlaude saat graduasi serta penarikan jabatan dari organisasi mereka. Dari desas-desus yang kudengar, sepertinya banyak orang di jurusan kami yang menyalahkan Kim dan menghujat gadis itu akibat tindakannya yang kelewat bodoh. Belum lagi fakta bahwa dua puluh lima orang yang berada di group chat tersebut merupakan teman-teman dekat Kim. 

Terus terang, begitu namaku difitnah terlibat dalam skandal tersebut, aku nyaris melupakan Kim. Tentu saja aku memilih untuk fokus pada diriku sendiri. Begini-begini, bukan hanya reputasiku yang sedang jadi taruhan, melainkan juga masa depanku. Aku tidak bisa mencemari nama baikku lagi akan skandal nasional ini. 

Tapi, kalau ada orang yang paling tepat untuk kami mencari tahu kebenaran dari seluruh kronologi kejadian ini dan mencari bukti bahwa aku dan Abel memang tidak terlibat dalam kejadian ini, aku yakin Kim-lah orangnya. Kim pastinya tahu kronologi cerita yang lebih akurat ketimbang pihak lainnya. Apalagi, aku tahu betul bahwa beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan, Kim sendiri juga mengajakku bergabung ke group chat tersebut.

Maka dari itu, aku dan Abel memutuskan untuk membuntuti Kim begitu kelas hari ini usai. Abel memberikan ide untuk mengajak gadis itu berbicara, atau setidaknya, bernegosiasi. Sebagai pelaku utama dari kejadian ini, Kim bisa bersaksi di sidang bahwa kami berdua tidak terlibat di group chat tersebut. Kami mengikuti Kim ke arah gedung apartemen mewah di depan universitas kami yang jadi tempat tinggal Kim. Begitu sampai di lobby utama, aku buru-buru mencegat Kim sebelum ia menaiki lift.

Yang rupanya disambut dengan tidak menyenangkan olehnya.

“Ngapain lo nyari gue?”

Buset, gadis ini nyolot banget. 

“Lo nggak jawab chat gue,” jawabku sembari memerhatikan raut wajah Kim yang sepertinya masih marah padaku. “Are you okay?

“Nggak usah basa-basi. Lo juga mau ngehujat gue, kan?” Kim mengibaskan tangannya, kemudian menunjuk ke arah Abel. “Dan ngapain lo bawa-bawa si rengking satu ke sini? Kalian mau protes ke gue karena bikin kalian juga jadi terlibat?”

Oke, sepertinya aku melakukan tindakan bodoh dengan membawa Abel berbicara dengan Kim. Mereka kan tidak terlalu dekat. Mungkin seharusnya aku berbicara empat mata dengan Kim. “Kim, gue cuma mau tahu keadaan lo.”

“Mau tahu keadaan gue? Memangnya ada yang perlu dijelaskan?” Suara Kim mulai meninggi, namun aku bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca. “Gue dinyatakan bersalah sebagai pelaku utama, dikasih sanksi nggak lulus mata kuliah, diomelin bokap nyokap gue, nggak sengaja nge-drag down teman-teman gue sehingga mereka semua musuhin gue, dan dihujat satu Indonesia, Rene.”

Ugh, setelah mendengar perkataan Kim, kini aku jadi iba. Meski aku tahu semua hal itu terjadi akibat ulahnya sendiri, aku tetap merasa kasihan. Kim berusaha menahan air mata yang hendak tumpah di ujung matanya. 

“Dan lo nanya apakah gue baik-baik aja? Lo bercanda?”

Aku terdiam selama beberapa saat. Terus terang, aku lupa akan fakta bahwa sobatku ini adalah beauty influencer dengan seratus ribu followers. Ini berarti, exposure Kim di media sosial lumayan besar ketimbang orang-orang lainnya yang terlibat di skandal tersebut. Mengingat bahwa aku dan Abel saja sudah mendapatkan komentar kebencian akibat skandal ini, aku yakin Kim pasti mengalami hal yang lebih parah sebagai influencer.

Begitu aku bertemu dengannya secara face to face dan memerhatikan Kim dengan saksama, barulah aku menyadari kondisi gadis itu. Kondisi Kim jauh lebih parah daripada yang kubayangkan. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis dan ia terlihat kurus bukan main.

Sorry kalau kita datang di waktu yang nggak tepat,” sela Abel di tengah-tengah percakapan kami. “Nama gue Abel.”

“Gue tahu lo. Ngapain lo ke sini sama Irene? Udah jelas kalian ke sini bukan untuk melihat kondisi gue.”

Awalnya aku nyaris mundur begitu mendengar sikap defensif Kim. Tapi yang sedang dipertaruhkan sekarang adalah masa depanku, dan aku yakin betul bahwa Kim punya peran penting untuk membantu kami mengerti seluruh kronologi kejadian ini. Jadilah, aku memutuskan untuk menguatkan mentalku untuk tetap membujuk Kim.

“Kim, please. Dengerin gue dulu. Gue ke sini buat melihat kondisi lo.” Aku menghela napas, berusaha meyakinkan Kim dengan kata-kata yang lebih lembut. “Gue tahu lo yang paling terluka karena skandal ini.”

Raut wajah Kim berubah begitu mendengar kalimatku. Gadis itu menahan emosinya kuat-kuat. 

“Gue tahu lo nggak dalam kondisi yang baik,” kataku sembari memberikannya senyum penuh welas kasih. “Tapi gue masih temen lo. I still care about you.

Mata Kim langsung berkaca-kaca seketika ketika mendengar kalimatku. Meski ia tengah menghindariku, aku dan Kim sudah berteman dekat sedari awal kami bergabung di Universitas Garuda Internasional. Aku tahu sifat Kim yang sensitif dan aku paham betul ketika gadis itu sedang berada di bawah tekanan, satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk menenangkannya adalah dengan mengeluarkan kata-kata lembut. Dengan kondisi mentalnya sekarang, aku mengerti bahwa Kim sedang membutuhkan bantuan, dan sebagai teman dekatnya, aku harusnya tahu bahwa aku seharusnya ada di sampingnya untuk membantu Kim menghadapi masalah ini.

Hal yang sudah seharusnya kulakukan beberapa hari silam ketika ia menghampiriku di parkiran kampus.

Kim terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya memutuskan untuk berlari ke arahku dan memelukku erat-erat sembari menangis sesenggukan.

***

Kami bertiga memutuskan untuk mengambil sofa besar yang terletak di ujung ruang lobby seusai melihat kondisi Kim yang tampaknya tidak cukup stabil untuk bisa berbicara dengan tenang. Setelah bersikap defensif, gadis itu langsung berlari dan menumpahkan seluruh air matanya di hadapanku. Untuk diriku yang sudah terbiasa menghadapi tabiat Kim yang hobi menangis selama kuliah, aku tidak terlalu kaget melihatnya. Namun, dari ujung mataku, aku bisa melihat gerak-gerik Abel yang agak canggung melihat Kim menangis seakan-akan ada yang baru saja meninggal. 

Untungnya, meski tangisan Kim cukup dramatis dan lobby gedung apartemen tersebut lumayan ramai, area lobby cukup besar sehingga kami bertiga bisa mengobrol di ujung ruangan dengan lebih privat. Maka dari itu, walau pun beberapa orang yang memasuki lobby terus memelototi kami, atau lebih tepatnya, Kim, dengan penuh tanda tanya, kami tetap bisa berbicara dengan lebih leluasa.

Abel menyodorkan tisu ke Kim, entah untuk yang ke berapa kalinya. Gadis itu mengeluarkan ingusnya sembari terus-terusan menangis tak karuan. Kim sudah menangis selama sepuluh menit sembari memelukku sedari tadi, dan aku hanya bisa menenangkannya.

“Gue.. gue benar-benar nggak tahu harus gimana lagi, Rene.” Kim menyedot ingusnya sembari merengek. “Teman-teman gue nggak mau bicara dengan gue, Rene. Mereka semua nyalahin gue..”

Aku hanya diam sembari terus-terusan menepuk pundak Kim. Dari ujung mataku, aku bisa melihat sosok Abel di sofa depan kami yang berusaha menahan emosi dan rasa canggung yang kami rasakan saat sedang menghibur Kim. Dari sekali lihat saja, aku sudah bisa menebak kalau Abel sepertinya tidak punya niatan untuk melontarkan kata-kata manis untuk gadis ini. Selain karena memang tidak ada kata-kata penghibur yang memang bisa dilontarkan untuk membuat situasi jadi lebih baik, semua skandal dan masalah ini memang disebabkan oleh Kim. Gadis ini pantas mendapatkan konsekuensi atas tindakannya.

“Belum lagi kerjaan gue sebagai selebgram, Rene, hiks.” Kim terisak-isak. “Gue dihujat satu Indonesia, endorse dan kontrak gue dibatalin. Terus, terus, bokap nyokap gue juga marahin gue! Katanya gue bikin malu nama keluarga.”

 Aku hanya bisa mengangguk sembari menampilkan wajah prihatin. Selama beberapa saat aku membiarkan Kim mengomel tak karuan sambil menunggu waktu yang tepat untuk mulai menginterogasi gadis itu perlahan-lahan.

“Gue tahu gue salah, tapi mereka jahat banget, Rene.” Kim menyedot ingusnya. Kini selebgram yang selalu tampil cantik di jurusan kami tidak terlihat sesempurna biasanya. “Asal lo tahu, yang paling parah dari semua ini bukan itu! Gue mungkin bisa tahan sama semua kejadian ini kalau misalnya ada satu orang aja yang mau support gue, Rene. Tapi, nggak ada satu pun yang ada di sisi gue, lo yang sahabat dekat gue juga bahkan nggak mau bantu gue!”

Aku menaikkan alis sembari berusaha menahan emosi. Gadis ini rupanya masih mengungkit-ungkit pertengkaran kami yang terjadi beberapa hari silam. Padahal dia sendiri yang memutuskan untuk menghindariku dan tidak membalas pesan-pesan yang kukirimkan, tapi kini ia malah menyalahkanku. Ugh, menyebalkan. Diam-diam aku bersimpati pada diriku sendiri yang selama ini punya mental kuat mendengarkan seluruh omelan KIm.

Lagipula, menyalahkan diriku karena tidak berada di samping Kim saat ia mengalami masa-masa sulit jelas bukan alasan yang valid. Terus terang, aku bukanlah satu-satunya orang yang selalu ada di samping Kim. Kim sosialita kampus, ia punya banyak teman dan punya pacar ketua yang meski agak emosian, tapi aku yakin cukup sayang padanya. Kalau ada masalah, Kim selalu berlari kepada Jiggy.

Benar juga, aku baru ingat akan Jiggy. Berdasarkan percakapanku dengan Kim terakhir kali, mereka sepertinya sedang bertengkar. Mengingat bahwa Jiggy sepertinya punya andil yang cukup besar dalam kejadian ini, aku harus segera mengorek informasi dari Kim.

Sorry, it’s my fault.” Aku memutuskan untuk mengalah, kemudian melanjutkan rencanaku. “Tapi lo kan nggak cuma punya gue doang, Kim. Gimana dengan pacar lo, Jiggy? Kalian baik-baik aja? Dia masih ngasih lo silent treatment?

Kim langsung terdiam begitu mendengar nama Jiggy disebut. Perubahan sikap yang ia berikan pada kami begitu aku menanyakan nama Jiggy sontak membuatku menaikkan alis. 

“Jiggy.. Jiggy marah banget.” Kim menjawab dengan hati-hati. Gadis ini pasti sudah tahu kalau Jiggy dinyatakan sebagai salah satu mahasiswa yang dicurigai terlibat dan sedang diselidiki. “Gara-gara ketahuan nyontek, gue nggak sengaja bikin dua puluh lima teman gue yang nyontek juga ketahuan. Gue kira para dosen cuma akan menghukum teman-teman gue yang terbukti masuk di group chat itu, tapi nama Jiggy juga ikut terlibat.”

Oke, sekarang waktunya untuk menggali informasi dari Kim. “Gimana caranya Jiggy bisa terlibat di kejadian ini? Terakhir kali lo cerita, gue kira Jiggy nggak bergabung dengan group chat itu?”

Isakan Kim terhenti, gadis itu terdiam selama beberapa saat. “Jiggy memang nggak bergabung di group chat itu.”

Lihat selengkapnya