I did not expect any of this at all.
Alih-alih melanjutkan kelas-kelas yang masih tersisa di kampus pada hari itu, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Setelah semua kejadian ini dan berita mengenai Kim yang diduga melakukan tindakan bunuh diri, aku benar-benar butuh istirahat. Aku terlalu emosional untuk bersosialisasi dan belajar di kampus.
Tapi, seiring aku menginjak pedal gas di mobilku dan mulai menyetir melewati jalanan Jakarta yang lumayan macet, otakku malah lari ke mana-mana. Aku merasa bersalah pada Kim. Meski gadis itu kadang bersikap menyebalkan padaku, kami tetap sobat dekat. Apakah pertanyaan yang kami berikan pada Kim kemarin membuatnya memutuskan untuk bunuh diri? Apakah aku yang menyebabkan gadis itu melancarkan aksi seperti itu?
Ada yang salah. Semua kejadian ini terasa aneh sekaligus ganjil bagiku. Kim jelas-jelas tidak punya niatan bunuh diri. Setidaknya, itulah feeling aneh yang kudapatkan ketika pertama kali mendengar berita itu. Aku mungkin bakal memercayai berita itu kalau kami tidak saling berhubungan kemarin malam, tapi faktanya, kami baru saja berbicara melalui telepon kemarin dan aku bisa merasakan tekad Kim untuk mengembalikan nama baiknya. Kim mungkin emosional dan sensitif, tapi gadis itu jelas-jelas tidak akan bunuh diri. Lagipula, kami berencana untuk bertemu hari ini. Kim bahkan mengirimkan tautan link padaku sebelum kami mematikan telepon.
Oh, shit. Betul juga.
Mataku langsung terbuka lebar. Perasaan shock yang kualami seharian langsung hilang seketika. Untungnya jalanan Jakarta lumayan ramai, sehingga aku punya kesempatan untuk meraih telepon genggamku meski sedang sibuk menyetir. Buru-buru aku membuka pesan WhatsApp terakhir yang gadis itu kirimkan. Link Google Drive yang diproteksi dengan password. Link mengenai bukti-bukti skandal menyontek kemarin. Aku segera menyimpan link tersebut meski tidak tahu password yang Kim tetapkan pada tautan tersebut. Untuk apa dia mengirimiku link ini kalau ia hendak bunuh diri?
Di sela-sela lamunanku, aku tiba-tiba teringat akan satu hal.
Bunyi pintu yang dibuka dengan keras dari ujung panggilan kami kemarin.
Kata-kata terakhir Kim kepadaku.
“Sorry, nanti gue telpon lo lagi, oke? Something came up. Gue ada tamu dadakan.”
Tubuhku langsung bergidik seketika begitu mengingat kalimat tersebut.
Kim jelas tidak bunuh diri. Ada orang yang bertemu dengan Kim kemarin malam.
***
Begitu aku sampai di Universitas Garuda Internasional keesokan harinya, aku malah mendapat panggilan tak terduga.
Awalnya aku langsung berjalan cepat ke kelas untuk mencari sosok Abel. Aku harus menceritakan semua asumsi yang kutemukan. Asumsi bahwa kemungkinan besar Kim tidak bunuh diri, dan fakta bahwa kami punya bukti penting yang mungkin bisa membantu kami mengembalikan nama baik di sidang skandal menyontek. Abel punya otak yang cerdas dan cemerlang, dia pasti tahu apa yang harus kami lakukan selanjutnya.
Tapi bukannya bertemu dengan Abel di ruang kelas, aku malah menemukan sosok Abel di ruang detensi kami.