Rasanya aku ingin mati saat ini juga.
Serius, belum pernah aku dipermalukan sampai seperti ini sebelumnya. Bisa-bisanya mereka memutuskan untuk memberikanku hukuman dengan begitu mudahnya tanpa mengecek kebenaran dari berita tersebut. Begitu Rektor Dwi dan para dosen ngacir dari ruang detensi, aku memukul meja yang ada di depanku dengan keras sembari memegang kepala dengan tangan kiriku.
Bodohnya, sedari pagi datang ke kampus, aku tidak menyadari kalau berita bahwa namaku terlibat sebagai salah satu orang yang menekan Kim, sedang heboh di masyarakat umum. Setelah terkena komentar penuh hujatan karena skandal menyontek yang viral beberapa hari silam, aku memutuskan untuk menutup kolom komentar di Instagram dan mengubah setting akunku ke mode private. Alhasil, aku tidak tahu bahwa ada berita baru yang viral di tengah masyarakat.
Kalau dipikir baik-baik, sebenarnya aku tidak menyalahkan keputusan pihak kampus yang memilih untuk mengeliminasiku dari pemilihan. Itu jelas keputusan yang rasional. Orang sepertiku yang sedang dalam sorotan media massa akibat seluruh skandal ini tentu saja tidak pantas merepresentasikan Universitas Garuda Internasional. Kalau aku berada di pihak universitas, kurasa aku juga melakukan hal yang sama.
Masalahnya satu, aku tidak melakukan semua hal ini sama sekali!
Argh, rasanya frustasi bukan main ketika aku harus dihadapkan dengan semua masalah ini ketika aku bahkan nggak melakukan apa-apa. Aku tidak menyontek, tapi aku dituduh terlibat di skandal ini. Dan yang lebih parah, aku juga sama sekali nggak menekan Kim!
Oke, mari kita ralat bagian terakhir. Mungkin aku sedikit menekan Kim, tapi tentu saja itu tidak bisa menjadi pemicu utama kejadian ini, dong. Mereka bahkan tidak mengecek dan menyelesaikan investigasi dari polisi terlebih dahulu apakah gadis itu benar-benar bunuh diri atau tidak. Bisa saja ia mengalami kecelakaan, terpeleset atau semacamnya?
Ugh, kini aku benar-benar terdengar menyedihkan.
“Bel, lo gak apa-apa?”
Aku menengok begitu mendengar suara Irene, yang di luar dugaan, terlihat lebih khawatir akan kondisiku daripada dirinya sendiri. Padahal, aku tahu betul betapa penting titel excellence award bagi gadis itu.
Dalam situasi normal, aku bakal sangat menghargai rasa simpati gadis itu. Tapi, terus terang, aku tidak sedang berada di kondisi di mana diriku bisa berbasa-basi dengan seseorang.
“Rene, that’s a stupid question. Gue nggak mood untuk basa-basi.” Aku menjawab kesal, sebelum akhirnya beranjak berdiri. “Lo barusan dengar apa yang diomongin para dosen. Apa lo masih mengira gue baik-baik aja?”
Irene menelan ludah. Ucapanku yang agak kasar itu membuatnya terdiam. Sekarang, aku jadi malah merasa bersalah padanya. Aku sendiri harusnya tahu bahwa ia juga sedang berada dalam kondisi yang mirip denganku. Sama-sama sedang difitnah dan dicabut gelar bergengsinya.
Hanya saja, tak peduli berapa kali aku berusaha menghela napas dan menekan emosi, aku tidak bisa melontarkan kalimat baik untuk Irene. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari ruang detensi dan meninggalkan Irene sendirian di sana. Kalau aku tidak bisa bersikap baik pada Irene, sebaiknya aku pergi dari tempat ini dan menenangkan diri.
Begitu aku pergi dari ruang detensi, perasaanku langsung kalut bukan main. I’m so screwed. Apa yang harus kulakukan? Aku dituduh menyontek, dituduh menyebabkan teman satu jurusan bunuh diri, dan dieliminasi dari penjurian mahasiswa berprestasi Universitas Garuda Internasional, yang notabene merupakan tujuan utamaku sedari awal aku masuk universitas ini. Apakah hidupku tidak bisa jadi lebih buruk lagi?
Aku berjalan di lorong lantai jurusan kami dengan perasaan semrawut. Di tengah-tengah lautan manusia yang berlalu-lalang di koridor bersamaku, aku menyadari bunyi notifikasi dari ponselku. Sontak, aku merogoh ponsel dan melihat siapa yang baru saja mengontakku.
4 messages from Mama:
Holy shit.
Aku hanya bisa menghela napas melihat notifikasi pesan yang dikirimkan oleh Ibuku. Namun, begitu melihat satu pesan penting dari oknum lain yang tertera di notifikasi ponselku, aku nyaris berhenti bernapas.
1 message from Papa: Abel, kita perlu bicara. Kami tunggu kamu di rumah.
Aku menelan ludah begitu melihat pesan Ayahku terpampang jelas di layar ponsel. Kali ini aku tidak bisa mengelak lagi. Berita ini bahkan sudah sampai di telinga kedua orang tuaku. Belakangan ini aku memilih untuk menghindari kedua orang tuaku di rumah, dan untungnya, karena mereka cukup sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tak ada yang sadar mengenai skandal menyontek di Universitas Garuda Internasional yang melibatkanku.