Skandal Universitas

Nikita Luisa
Chapter #13

Bab 12 - Irene Riadi

Oke, sekarang aku depresi.

Aku baru saja dituduh terlibat skandal menyontek terbesar berskala nasional, mendapat hujatan dari media massa, kehilangan sahabatku, dituduh menekan sahabatku hingga bunuh diri dan kini dunia hendak menjatuhkan musibah baru untukku berupa pencabutan jabatan sebagai mahasiswi excellence award di kampus? Gila, karma apa yang sedang kutanggung sekarang?

Melihat Abel meninggalkanku di ruangan detensi sendirian membuatku menganga. Yang benar saja, aku tahu ia sedang kesal, tapi bukan berarti ia bisa bersikap kasar padaku. Ugh, dasar laki-laki blak-blakan. Inilah akibatnya kalau berteman dengan si peringkat satu yang kelewat rasional.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku memahami perasaan Abel. Berbeda dengannya, masa jabatanku sebagai mahasiswi excellence award tahun ini hanya sisa tiga bulan lagi, dan aku sudah merasakan banyak benefit selama menjabat. Meski aku dilengserkan dengan cara yang cukup memalukan, tapi setidaknya aku sudah merasakan pamor sebagai mahasiswi excellence award di kampus.

Namun, lain halnya dengan Abel yang masih dalam proses seleksi untuk menjadi mahasiswa berprestasi Universitas Garuda Internasional, yang notabene merupakan salah satu gelar paling prestigius di universitas ini sekaligus penghargaan terbaik bagi mahasiswa dengan track record yang cemerlang. Dari perkataan para dosen, sepertinya Abel adalah kandidat nomor satu untuk memenangkan gelar tersebut. Tentu saja ia depresi. Abel nyaris mendapatkan gelar tersebut dan ia dipaksa mundur hanya karena rekaman CCTV yang belum jelas kebenarannya. The worst feeling in this world is when you almost had something that could’ve been yours.

Aku tahu kami berdua sedang berada dalam masalah besar, dan kalau boleh jujur, aku hanya ingin pulang ke rumah dan menangis seharian. Tapi terus terang, aku merasa bahwa kami harus segera kembali ke tujuan awal. Membuktikan alibi dan membersihkan nama kami dari seluruh tuduhan ini. Kami masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa rekaman CCTV tersebut sengaja dibuat untuk menggiring opini tentang kami. Kami masih punya sidang minggu depan untuk membuktikan alibi kami ke pihak luar.

No chance I'm giving up on my reputation, my life—not now, not ever.

Aku mengucek-ucek bola mataku, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Belum saatnya untuk break down sekarang, Rene. Aku sudah berhasil mendapatkan beberapa petunjuk penting. Petunjuk besar yang mungkin bisa membantuku untuk keluar dari seluruh masalah ini. Mulai dari fakta bahwa adanya kemungkinan bahwa Kim tidak bunuh diri, sampai fakta bahwa aku mendapatkan bukti penting berupa tautan link yang mungkin berisikan bukti-bukti penting mengenai seluruh skandal menyontek ini.

Masalahnya satu, aku butuh Abel. Abel pastinya tahu bagaimana kami harus memecahkan petunjuk-petunjuk ini, dan Abel sedang tidak dalam kondisi yang baik sekarang.

Tapi, ini bukan saatnya untuk terpuruk. Kami sedang dalam situasi yang genting. Memangnya aku mau terima-terima saja dianggap menekan mental sahabatku sampai mau bunuh diri? Sedari tadi aku membaca kolom komentar di Instagram, rasanya aku ingin muntah. Bisa-bisanya mereka semua beranggapan kalau aku memang sengaja menekan Kim.

Jadilah, dengan semua pemikiranku itu, kuputuskan untuk menguatkan mentalku sendiri. Aku pergi mencari Abel, dan menemukan sosoknya di salah satu kelas yang seharusnya juga kutempati. Sial, karena semua masalah yang sedang kuhadapi, aku sampai lupa bahwa aku masih punya kelas yang harus kudatangi di kampus. Untungnya, dosen pengajar mata kuliah tersebut hanya menatapku dengan tatapan tajam, serta membiarkanku masuk ke ruang kelas tanpa bertanya dua kali, jadinya aku bisa dengan leluasa masuk tanpa harus diusir karena terlambat datang.

“Psst, Bel!”

Aku berbisik pelan pada Abel sembari menyomot kursi kosong yang berada di sebelahnya persis. Meski kelas itu lumayan ramai, untungnya tidak ada yang mengambil kursi di sebelah Abel.

Bukannya memberikan jawaban, ia malah memberikan tatapan tajam padaku. Selang beberapa saat, ia tidak mengindahkanku dan hanya fokus melihat ke dosen pengajar yang mulai mengajar.

“Bel, lo masih kesal?” tanyaku dengan suara pelan, berharap tidak menarik perhatian dosen dan mahasiswa lain yang duduk di sekitar kami. “Sorry, deh. Tadi gue nanya pertanyaan bodoh.”

Abel menghela napas, kemudian juga berbisik dengan sepelan mungkin. “Rene, ini bukan waktunya buat ngobrol. Lo nggak lihat gue lagi fokus belajar?”

Oke, aku tahu timing-ku sedang tidak pas. Tapi situasi ini genting banget, aku butuh bantuan Abel secepat mungkin. 

“Gue perlu ngomong sama lo. Ini menyangkut tentang skandal kemarin. Mungkin lo masih bisa balikin nama baik dan bikin para dosen mikir dua kali tentang eliminasi lo..”

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Abel menyela dengan nada agak tinggi. “Rene, gue nggak mau bahas masalah itu.”

Buset, nadanya benar-benar seperti pedagang kaki lima yang tidak mau menurunkan harga jualannya setelah nego dengan ibu-ibu pembeli. Aku sontak terdiam. Abel sepertinya masih bete bukan main. Terlihat jelas dari nada suaranya yang agak kasar. Akibat tindakannya itu, kini seluruh pasang mata di ruang kelas menatap kami dengan penuh tanda tanya.

Uh-oh. Gawat.

“Abel Daniswara, Irene Riadi.” Suara dosen yang tadinya sedang menerangkan mata kuliah kami kini terdengar menyeramkan. “Sepertinya kalian ribut sendiri dari tadi.”

Aku menggigit bibir. “Sorry, Bu.”

“Irene, kamu datang terlambat dan sekarang bikin ribut kelas saya. Apa kamu tidak tahu malu?”

Aku sontak terdiam. Dosen tersebut menatapku dengan penuh kekesalan. Sementara mahasiswa yang lain tengah melihat kami sembari berbisik-bisik. Aku menghela napas. Sial, ini bukan rencana awalku. Di saat-saat genting seperti ini, kenapa kami malah menarik perhatian?

“Tolong keluar dari ruangan saya sekarang juga, Irene dan Abel. Saya tidak butuh mahasiswa yang tidak berniat untuk mendengarkan kelas saya,” Di luar dugaanku, bukannya melanjutkan materi, dosen tersebut malah mengusir kami. Sontak, aku hanya bisa menganga lebar sebelum akhirnya dosen tersebut melanjutkan kalimatnya. “Saya juga tidak berminat mengajar mahasiswa berkelakuan buruk yang terkenal dari skandal yang bikin malu satu universitas.”

Rasanya darahku nyaris mendidih begitu mendengar ejekan tersebut dari si dosen. Mataku berkedip sekali, terkejut mendengar ucapannya yang begitu sarkas. Yang benar saja, bisa-bisanya ia melontarkan kalimat tersebut dengan sebegitu mudahnya tanpa mengetahui fakta yang ada? 

Akibat ucapan menohok dari dosen tersebut, seluruh mahasiswa yang ada di sana langsung menatapku dan Abel dengan tatapan sinis. Mereka semua berbisik dengan suara pelan sembari tertawa kecil di belakang.

Sial, aku muak banget dengan semua hal ini. Bisa-bisanya mereka memperlakukanku bak penjahat kesakitan. 

Di sampingku, rupanya Abel langsung mengambil tas beserta bukunya serta pergi dari ruang kelas tersebut tanpa bertanya dua kali. Untuk orang seperti Abel yang punya harga diri yang tinggi sebagai mahasiswa dengan peraih peringkat pertama di jurusan kami, ucapan sinis si dosen pastilah melukai harga dirinya. Maka dari itu, alih-alih membantah, ia memutuskan untuk mengikuti ucapan sang dosen.

Begitu melihat Abel meninggalkan ruangan, aku langsung beranjak dari kursiku untuk segera menyusulnya. Aku berusaha mengejar Abel di tengah lorong kampus yang kini lumayan sepi sembari berusaha sekuat tenaga meraih tangan Abel, menahannya, namun begitu berhasil menahan Abel, lelaki itu malah membentakku.

“Rene, gue udah bilang gue nggak mau bahas ini dulu!” 

Aku terkesiap begitu mendengar bentakan Abel padaku. Aku menatap raut wajah Abel, yang sepertinya sedang kesal sekaligus sedih bukan main. Air muka lelaki itu terlihat lelah, dan ia sepertinya tidak tahu apa yang harus ia perbuat. 

Oke, kini aku merasa bersalah. 

Selama beberapa kali aku melihat Abel di kampus dan di pidato setiap acara internal jurusan kami, aku tidak pernah melihat Abel sebegini depresinya. Abel punya imej yang kuat di kampus dan selalu tampil karismatik dan percaya diri. Di setiap presentasi dan kesempatan, ia selalu tampil sempurna. Abel, si peraih peringkat satu yang good looking, dengan otak cerdas serta IPK terbaik di jurusan kami. 

Baru kali ini aku melihat sosoknya yang begitu menyedihkan seperti ini.

“Udah cukup gue dipermalukan hari ini, Rene.” Abel mengacak-acak rambutnya. “Dan lo masih bikin gue dipermalukan lagi di depan dosen dan mahasiswa yang lain.”

“Bel, sorry, gue nggak bermaksud buat bikin kita berdua dipermalukan.” Aku meminta maaf pada Abel, kemudian menatap matanya lekat-lekat. “Tapi ini benar-benar penting. Lo harus tahu apa hal yang hendak gue omongkan. Gue jamin lo nggak akan menyesal.”

Abel menatapku dengan jengkel. “Apa lo nggak bisa kasih gue waktu untuk meratapi nasib terlebih dulu? Atau setidaknya, kasih gue space untuk sementara waktu? Gue baru aja dieliminasi dari salah satu kompetisi yang jadi tujuan utama gue selama masuk kuliah. Whatever it is that you want to talk about, it can wait, Rene.”

“Bel, sorry banget kalau gue maksa, tapi ini benar-benar penting. Ini bukan waktunya kita terpuruk.” Aku berusaha meyakinkan Abel sekuat tenaga. “Kalau kita nggak segera menyelesaikan semua ini, kita bakal benar-benar berakhir dengan reputasi paling memalukan sepanjang sejarah mahasiswa Universitas Garuda Internasional.”

Sepertinya Abel mulai goyah begitu mendengar bujukanku. Dalam beberapa detik, raut wajah lelaki itu berubah menjadi lebih lembut.

“Oke, make it quick.” Abel akhirnya mengalah. “Apa yang lo mau bicarakan?”

Yes!

Aku tersenyum puas mendengar jawaban Abel.

“Gue punya bukti yang bisa bikin kita selamat dari semua tuduhan ini, Bel.”

***

Selama beberapa saat, Abel hanya menatapku tajam.

Ada suasana tegang yang terasa di sekitar kami. Abel tidak berbicara. Ia hanya mneatap raut wajahku dengan saksama, seakan-akan berharap bisa mengetahui kebenaran dari kalimatku hanya dengan menatapku dengan tatapan tajam. 

Untungnya, lorong di kampus lumayan sepi. Di jam-jam seperti ini, banyak mahasiswa kampus yang sedang berada di kelas masing-masing. Alhasil, tindakan Abel tentunya tidak membuat kami jadi pusat perhatian. Aku dan Abel bisa berbicara dengan tenang tanpa perlu mendapat lirikan tajam dari mahasiswa lain. 

Lihat selengkapnya