Begitu melihat sosok si ketua BEM yang menyebalkan bukan main, aku langsung menyadari apa yang sedang terjadi.
Dari rekaman CCTV tersebut, aku bisa melihat gerak-gerik Jiggy yang terlihat panik dan kalut bukan main. Ia buru-buru pergi dari apartemen Kim, dan tidak menengok sama sekali. Apa yang ia lakukan di dalam apartemen? Atau lebih tepatnya, apa yang ia lakukan pada Kim dalam selang waktu kurang dari satu jam sampai-sampai ia memutuskan untuk kabur dari sana secepat kilat?
Aku beralih pada si kepala keamanan yang raut wajahnya terlihat panik. “Pak, apa anda masih ingat dengan wajah orang yang menyogok bapak untuk melakukan fabrikasi pada rekaman CCTV gedung ini?”
Si bapak-bapak tua tersebut menjawab dengan terbata-bata. “S-Sedikit.”
“Kalau begitu, jawab pertanyaan saya.” Aku menunjuk ke sosok Jiggy yang terekam di kamera. “Apakah orang yang menyogok bapak adalah laki-laki ini?”
Tanpa perlu validasi dari si bapak-bapak corrupted ini, aku yakin sembilan puluh sembilan persen kalau Jiggy adalah oknum yang memberikan perintah tersebut kepada si bapak kepala keamanan. Begitu melihat anggukan lemah darinya, aku bisa merasakan kepuasan dalam hatiku.
Sekarang, semuanya jadi jelas. Seusai ucapan Irene, ada kemungkinan besar bahwa Kim sebenarnya tidak bunuh diri. Jiggy adalah orang terakhir yang memasuki apartemen Kim, dan dari tindakannya yang menyogok kepala keamanan gedung demi melakukan fabrikasi terhadap rekaman CCTV, aku yakin Jiggy pasti terlibat akan kecelakaan yang menimpa Kim dan berniat menghilangkan jejaknya. Dengan bukti ini, aku yakin ada kemungkinan besar bahwa Jiggy melakukan sesuatu pada Kim hingga gadis itu jatuh dari balkon. Bangsat, apakah itu alasannya menuduh aku dan Irene di rumah sakit kemarin? Jelas-jelas ia berniat menjadikanku dan Irene kambing hitam dari kejadian ini serta membuat kecelakaan yang terjadi pada Kim dianggap sebagai percobaan bunuh diri.
Aku terdiam selama beberapa saat sembari mulai mengunduh rekaman tersebut dan mengirimkan salinan rekaman tersebut ke ponselku. Ada rasa puas sekaligus rasa lega yang muncul di hatiku. Aku punya bukti kuat untuk mengembalikan nama baikku. Meski aku sendiri tidak yakin bahwa para dosen bakal memikirkan ulang eliminasiku dari pemilihan mahasiswa berprestasi, setidaknya aku punya bukti kuat yang bisa kuberikan pada orang tuaku untuk mengembalikan nama baik keluarga kami.
Tapi meski demikian, aku tetap merasa ada yang aneh. Apa alasan Jiggy bertemu dengan Kim pada malam hari itu? Dan yang lebih membingungkan lagi, kenapa kejadian-kejadian yang ada malah berkembang menjadi serumit ini ketika asal mula masalah adalah skandal menyontek di universitas kami?
Aku yakin bahwa Jiggy sepertinya punya peran penting di skandal menyontek tersebut, dan itulah alasan utama kenapa dia mengontak Kim pada malam hari itu. Masalahnya, aku masih kebingungan memahami kronologi skandal menyontek kemarin. Apa yang sebenarnya terjadi?
Akhirnya, aku memutuskan untuk beranjak pergi dari ruang tersebut bersama dengan Irene. Kami sudah berhasil mendapatkan bukti penting. Sekarang, waktunya untuk menyusun rencana untuk menggunakan bukti ini di sidang nanti.
Di tengah-tengah semua kebingungan ini, aku bisa merasakan getaran notifikasi melalui ponselku. Ugh, semoga notifikasi tersebut bukan panggilan dari kedua orang tuaku. Sedari tadi, aku memutuskan untuk lari dari pesan-pesan yang mereka kirimkan untuk sementara waktu. Mengingat semua hal yang terjadi hari ini, tidak kaget kalau mereka terus-terusan menghubungiku untuk pulang ke rumah dan berbicara.
Untungnya, notifikasi tersebut tidak menunjukkan nama kedua orang tuaku, melainkan nama oknum yang kuhubungi tadi siang untuk membantuku meretas password dari link yang diberikan oleh Kim untuk Irene. Wow, tidak kusangka ia bisa meretas password tersebut secepat ini. Baru beberapa jam berlalu semenjak kali terakhir aku mengirimkan request tersebut, dan ia sudah berhasil membuka isi dari link yang kuberikan. Dengan rasa penasaran, kuputuskan untuk menekan tautan tersebut.
Aku terdiam begitu melihat isi dari link tersebut.
Holy shit.
***
“Gue masih agak shock dengan semua perkembangan ini.”
Ucapan itu dilontarkan Irene saat aku sedang fokus menyetir untuk kembali ke kampus. Gadis itu terlihat lesu bukan main. Aku sontak menaikkan alis melihatnya bersikap sedemikian rupa. Kami baru saja menemukan bukti penting yang bisa mengembalikan nama baik kami berdua. Seharusnya ia senang, dong.
“Seharusnya lo senang,” sahutku dengan nada yang lebih ceria. “Kita punya bukti kuat untuk membuktikan bahwa kita nggak menekan Kim.”
“Gue tahu kalau Jiggy memang agak abusive, tapi seharusnya dia masih punya hati nurani untuk nggak mencelakai Kim.” Suara Irene meninggi. “Gue nggak paham, untuk apa Jiggy mencelakai Kim? Dia pacarnya, Bel!”
Mencelakai. Aku bungkam selama beberapa detik mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut Irene. Satu kata yang sangat tepat untuk menjelaskan hal apa yang sedang terjadi pada Kim. Setelah melihat rekaman CCTV tadi, baik aku dan Irene sampai pada kesimpulan yang sama. Jiggy mencelakai Kim, berusaha membuat kejadian ini seperti aksi bunuh diri dengan menyogok kepala keamanan apartemen Kim, dan sedang menjadikanku dan Irene sebagai kambing hitam mengingat exposure yang Kim miliki di media sosial.
What a jerk. Bagaimana caranya ia bisa memenangkan pemilihan ketua BEM di kampus kami?
Aku tidak menjawab Irene yang sedari tadi terus-terusan meracau dengan rasa tidak percaya. Oke, untuk gadis yang cerdas dan cukup rasional daripada gadis-gadis pada umumnya, aku terkejut melihat reaksi Irene.
“Kalau lo memang sekepo itu dengan alasan kenapa Jiggy bela-belain mau mencelakai Kim,” aku melirik ke arah Irene, sembari menyodorkan ponselku padanya. “Coba lo lihat ini.”