Skandal Universitas

Nikita Luisa
Chapter #16

Bab 15 - Abel Daniswara

Sepertinya skandal ini menyimpan masalah yang lebih rumit daripada yang kupikirkan.

Untungnya, kami berhasil menggali akar masalah dari skandal tersebut dalam waktu yang terbilang singkat. Kalau Jiggy memang mengatakan kebenarannya, berarti semua ini disebabkan oleh Brandon. Dasar, aku tidak suka dengan orang-orang seperti Brandon yang hanya mengandalkan uang di kehidupan. Sedari awal aku melihatnya pertama kali di acara-acara perusahaan, aku tidak pernah menyukai karakternya. Bagaimana mungkin pebisnis hebat seperti Ferry Halim bisa menghasilkan anak seperti Brandon yang manja dan tidak punya otak?

Uh, sekarang omelanku malah terdengar seperti rasa iri. Terus terang, mungkin aku memang iri dengan Brandon. Berbeda dengan Brandon yang tidak perlu bersusah payah dan mendapatkan kesempatan untuk hidup seenak jidat tanpa perlu memikirkan ekspektasi keluarga, aku harus menunjukkan kemampuanku di keluarga Daniswara. Sebagai anak bungsu yang tidak diharapkan, aku tidak bisa bertingkah seenaknya seperti Brandon. Kalau aku sampai menghancurkan nama keluarga, kakak-kakakku tidak akan segan-segan mengambil semua aset dan kekuasaanku di masa depan.

Oke, ini bukan saatnya untuk teringat akan masalah keluarga. Sekarang, aku harus fokus pada informasi yang baru kami dapatkan. Semuanya jadi lebih masuk akal. Alasan mengapa Brandon dan Jiggy dicurigai oleh para dosen adalah karena mereka memang terlibat di kejadian ini. Pasti ada orang dari circle mereka yang menyebutkan nama Brandon dan Jiggy. Itulah alasan kenapa mereka bisa terlibat.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya kami membuktikan keterlibatan Brandon. Selain testimoni dari Jiggy, terus terang, kami tidak punya banyak hal yang bisa ditampilkan pada saat sidang. 

Di tengah-tengah lamunanku, Irene memecah keheningan di antara kami berdua. 

“Bel,” ujarnya sembari berjalan melangkah pergi dari kampus yang sudah lumayan sepi. “Sekarang kita harus gimana?”

“No idea.” Aku menjawab seadanya. “Setidaknya kita dapat beberapa fakta menarik yang nggak kita dapatkan dari link yang diberikan oleh Kim.”

“Tapi kita nggak punya bukti kalau Brandon dalang utamanya.”

Aku mengangguk, setuju dengan pernyataan Irene. Dari tadi, sepertinya Irene jauh lebih ambisius untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada, yang sebenarnya masuk akal. Sidang besar universitas akan diadakan beberapa hari lagi, dan kami harus memastikan bahwa kami bisa mengumpulkan semua bukti yang ada agar tidak dipermalukan di depan umum.

Sontak, aku memutuskan untuk bertanya balik pada Irene. “Lo ada ide?”

Di luar dugaanku, gadis itu mengangguk antusias. “Yep. Gue punya ide untuk mencari bukti-bukti keterlibatan Brandon. Ayo ikut gue.”

Aku menaikkan satu alisku, sebelum akhirnya mengikuti tarikan Irene ke parkiran kampus.

***

“Sepertinya lo kebanyakan nonton film.”

Begitu mendengar ucapanku, Irene sontak menatapku dengan senyum jahil. “Apa maksud lo? Justru ini cara paling jitu kalau mau mergokin si Brandon, Bel!”

Jitu. Aku sebenarnya sependapat dengan Irene, tapi ini pertama kalinya aku melakukan hal-hal memalukan seperti ini. Rencana yang disarankan oleh Irene sebenarnya sederhana. Membuntuti Brandon seharian selama beberapa hari berturut-turut sebelum sidang berlangsung. Rencana yang menurutku, meski agak tolol tapi cukup jitu. Hanya saja, ini rencana yang kekanak-kanakan banget! Kalau salah mengira, orang-orang bisa menganggap kami stalker! Dan aku tidak mau dianggap stalker setelah semua reputasi yang kumiliki sekarang.

“Ayolah, Bel. This is fun!” Irene berusaha meyakinkanku.

Aku hanya mengiyakan sembari menghela napas panjang. Irene masih sibuk berceloteh dan berujar bahwa ia yakin kalau kami bisa mendapatkan sesuatu dari semua penyelidikan kecil-kecilan yang kami lakukan pada Brandon. Jadilah, ini yang kami lakukan selama dua hari belakangan. Kami memerhatikan Brandon di kampus, membuntuti semua kegiatannya di kampus, lalu mengikutinya dari mobil serta melihat gerak-geriknya sebelum kembali pulang ke rumah.

Sebenarnya, tidak ada hal-hal signifikan yang kami temukan selama mengikuti Brandon. Brandon punya jadwal yang cukup konsisten selama dua hari belakangan, yaitu datang ke kampus semepet mungkin, sibuk main ponsel selama kelas berlangsung, nongkrong di kafe dekat kampus, jalan-jalan di mall sesuka hati, sebelum akhirnya pulang ke rumahnya yang luar biasa megah.

Kalau boleh jujur, aku merasa dua hari ini terbuang sia-sia. Tidak ada gelagat Brandon yang mencurigakan, sementara aku sendiri sudah mulai kesal. Ini sudah hari Jumat, dan kami bakal disidang hari Senin minggu depan. Waktu kami tinggal sedikit. 

“Gue tahu kita memang lagi berusaha mencari bukti untuk mendapatkan nama baik,” Aku menghela napas. “Tapi ini benar-benar menyita waktu gue. Gue nggak punya waktu untuk belajar buat ujian kita.”

Oke, kalimat ini mungkin terdengar agak bodoh. Meski kalimatku itu membuatku terlihat seperti anak cupu yang sehari-harinya hanya sibuk belajar, tapi kalimat itu benar adanya. Di tengah-tengah seluruh kerusuhan yang terjadi di kampus dan segala berita tak mengenakkan yang menyebar luas, dunia tetap harus berjalan. Salah satunya adalah fakta bahwa masih banyak ujian tetap dilaksanakan oleh para dosen.

“Lo kan pintar,” sahut Irene. “Lo nggak akan dapat nilai jelek, Bel.”

“Lo pikir selama ini gue berhasil dapat peringkat satu tanpa usaha?” Aku menyahut kesal. “Gue juga perlu belajar kali. Semenjak terlibat kasus ini, gue bahkan nggak fokus di kelas. Ugh, sepertinya Thomas bakal menyalip peringkat gue semester ini.”

“Thomas? Si rengking dua?”

“Siapa lagi?” tanyaku balik. “Lo kenal?”

Irene menggeleng. “Nggak akrab, tapi gue tahu dia. Setahu gue, dia lumayan terkenal sebagai murid kesayangan para dosen. Tahun lalu dia masuk babak final sama gue waktu pemilihan mahasiswa excellence award.”

Aku sontak teringat akan pemilihan excellence award tahun lalu. Aku baru ingat, selain diriku yang kalah di babak semifinal, Thomas berhasil masuk di babak final sebelum akhirnya dikalahkan oleh Irene. Sebenarnya pada saat aku kalah di babak semifinal tahun lalu, aku yakin betul bahwa Thomas bakal memenangkan gelar tersebut, tapi di luar dugaan, Irene muncul sebagai pemenang. 

By the way, Rene. Lo nggak mau balik?” tanyaku sambil melirik ke arloji yang ada di tangan kiriku. “Ini udah jam setengah dua belas malam dan di lihat dari arah mobil Brandon, seharusnya dia nggak akan ke mana-mana lagi.”

Lihat selengkapnya