Aku merasa seperti seorang kriminal.
Belakangan ini, sepertinya aku banyak melakukan hal-hal yang tidak pernah kupikirkan akan kulakukan sebelumnya. Yang benar saja, aku dan Irene mencuri ponsel Brandon, mengecek CCTV apartemen dengan menggunakan kekuasaan keluargaku, menghajar Jiggy supaya dia mau mengaku dan membobol ruang dosen? Abel Daniswara yang dulu tentunya takkan mau melakukan hal-hal semacam ini.
Tapi sekarang aku sedang berada di situasi yang parah banget. Situasi yang membuatku mau tak mau harus melakukan semua rencana itu. Aku tidak suka rencana yang Irene berikan, tapi apakah aku punya pilihan lain? Kalau aku mau mengembalikan nama baikku, aku harus siap melakukan semua hal ini.
Dengan pemikiran itulah, aku akhirnya muncul di Universitas Garuda Internasional pada sore hari ini. Ini hari Sabtu, dan kampus sudah sepi. Biasanya, tidak akan ada proses belajar mengajar di kampus pada hari Sabtu untuk mahasiswa biasa. Orang-orang yang muncul di hari Sabtu hanyalah panitia organisasi yang harus mengurusi beberapa acara kampus, atau mahasiswa S2 yang mengambil kuliah part time di akhir pekan.
Yang berarti adalah hari yang sempurna untuk membobol ruang dosen.
Kebanyakan dosen di jurusan manajemen bisnis internasional tidak bekerja di hari Sabtu. Hanya ada beberapa petugas administrasi di kampus yang bekerja sampai jam tiga sore. Aku melirik ke arlojiku. Ini sudah jam lima sore. Kalau sudah gelap, kami bisa memasuki ruang dosen dengan mudah. Irene berujar bahwa ia bakal membawa beberapa alat penting yang bakal digunakan pada saat membobol ruang dosen nanti. Maka dari itu, yang perlu kulakukan sekarang hanyalah menunggunya.
Aku berjalan melewati koridor kampus dan auditorium Universitas Garuda Internasional yang sudah lengang. Sepertinya mereka baru saja menyelesaikan salah satu acara di auditorium. Aku bisa melihat beberapa petugas kebersihan yang tengah membersihkan auditorium tersebut. Sepertinya auditorium itu baru saja dipakai tadi siang.
“Bel?” tiba-tiba saja terdengar suara familiar dari belakangku. “Lo ngapain di kampus hari Sabtu?”
Aku buru-buru menengok ke belakang.
Rupanya Thomas.
“Oh, Thomas.” Aku berusaha menampilkan wajah poker face untuk menyembunyikan rencanaku membobol ruang dosen. “Barang gue ketinggalan. Gue mau ambil barang gue di kampus.”
Thomas tidak bertanya lagi setelah aku menjawab pertanyaannya, sontak aku bertanya balik. “Lo sendiri ngapain di sini hari Sabtu?”
“Lo lupa, Bel?” Thomas menaikkan satu alisnya. “Hari ini babak terakhir pemilihan mahasiswa berprestasi Universitas Garuda Internasional.”
Holy shit.
Setelah Thomas mengucapkan kalimat itu, aku langsung menengok ke arah auditorium yang biasanya dipakai untuk melaksanakan pemilihan tersebut. Pantas saja auditorium itu ramai hari ini. Akibat semua hal yang kulakukan belakangan ini bersama dengan Irene, aku bahkan tak sempat memikirkan rasa kesal di hatiku karena didepak secara sepihak oleh pihak universitas.
Aku kemudian melirik ke arah Thomas, yang tengah membawa beberapa paperbag berisikan piala, serta beberapa bingkisan yang kuyakini adalah hadiah dari para sponsor universitas.
Siapa yang memenangkan pemilihan tersebut?
“A-Ah, ya.” Aku berusaha menampilkan wajah tenang. Tidak lucu kalau aku terlihat iri di depan sahabatku sendiri. “Siapa yang menang?”
Thomas tersenyum sumringah sembari membenarkan kacamatanya. “Gue lumayan beruntung karena tampil maksimal di presentasi tadi. I won the contest.”
Begitu Thomas mengumumkan hal itu di depanku, aku langsung menggigit bibir. Aku berusaha sekuat tenaga untuk memberikan ucapan selamat pada Thomas tanpa terlihat iri. Pantas saja Thomas terlihat sumringah. Rupanya ia berhasil memenangkan pemilihan mahasiswa berprestasi. Hasil yang tidak mengagetkan untukku. Setelah aku didepak dari pemilihan tersebut, Thomas adalah satu-satunya kandidat terkuat yang memang layak mendapatkan gelar tersebut. Ia punya reputasi sebagai mahasiswa berprestasi di kampus dengan IPK yang tinggi, serta selalu jadi murid kesayangan dosen karena ia selalu mendapatkan evaluasi yang baik sebagai asisten dosen beberapa mata kuliah tersulit di jurusan kami. Tentu saja ia bakal memenangkan pemilihan tersebut dengan mudah.
“Gimana keadaan lo, Bel?” Thomas mengalihkan perhatianku dari berita gembira yang baru saja ia lontarkan sembari menemaniku berjalan di koridor auditorium. “Lo udah siap untuk sidang hari Senin nanti?”
Ugh, rasanya menyebalkan banget begitu mendengar pembahasan Thomas mengenai sidang yang harus kulalui. Dia tidak perlu mengingatkanku akan hal itu tepat setelah ia memenangkan gelar mahasiswa berprestasi di kampus. Gelar yang seharusnya jatuh padaku.
“Lumayan.” jawabku.
“Oh, lo terlihat percaya diri?” Thomas tersenyum lebar saat mendengar jawabanku. “Lo udah punya bukti-bukti menarik yang membuktikan keterlibatan Jiggy dan Brandon di skandal itu?”
Aku mengangguk pelan, tidak berniat mengekspos semua bukti yang kumiliki pada Thomas.
Thomas menaikkan alis, raut wajahnya berubah. “Baguslah, Bel. Orang-orang kaya berotak kosong seperti mereka memang pantas dapat hukuman yang layak.”
“Lo sepertinya senang banget melihat orang-orang bodoh seperti mereka bakal dihukum.”
“Memangnya lo nggak punya pemikiran yang sama dengan gue?” Thomas membalas dengan santai. “Itu konsekuensi yang setimpal buat mereka, terutama untuk Brandon. Gue tahu dia tajir melintir, tapi nggak semua hal bisa dibeli pakai uang. Not even his scores.”
“Ya,” aku mengangguk, menyetujui perkataan Thomas. “Seharusnya dia nggak akan lepas dari hukuman, mengingat betapa besar peran yang Brandon miliki di skandal ini.”
“For sure,” Thomas membenarkan kacamatanya sembari berjalan ke arah gerbang kampus. “Mengingat dia orang yang menyuruh Jiggy dan teman-temannya menciptakan group chat tersebut, seharusnya para dosen nggak akan menutup-nutupi berita itu di sidang nanti.”
Aku tidak membalas perkataan Thomas lebih lanjut. Setelahnya, kami berpisah di dekat koridor gerbang kampus karena Thomas berujar bahwa ia bakal kembali pulang untuk menaruh barang-barang yang ia bawa. Sementara aku sendiri yang masih perlu menyelesaikan misi penting memutuskan untuk menaiki lift menuju lantai gedung jurusanku.
Ugh, aku tahu aku harusnya ikut senang dengan keberhasilan sohib sendiri, tapi entah kenapa, aku masih tidak rela. Lihat saja betapa bahagianya Thomas ketika ia mengumumkan kemenangannya padaku. Aku benar-benar bukan sohib yang baik. Aku bahkan tidak menanyakan lebih lanjut mengenai kemenangan Thomas. Sedari tadi kami berbincang-bincang, hanya Thomas yang memberikan rasa empati lebih padaku dengan menanyakan keadaanku dan semua skandal ini.
Tiba-tiba saja ada satu hal yang muncul di pikiranku.