Entah sudah berapa lama kami disekap di gudang itu.
Tidak ada lampu yang menyala di gudang tersebut, hanya ada sinar kecil yang menyeruak dari beberapa lubang ventilasi di langit-langit ruangan. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat adanya jendela kecil di belakang yang menunjukkan kondisi di luar dan beberapa jendela besar yang dikunci. Dari sekali lihat, aku bisa melihat bahwa langit sudah gelap, yang berarti menandakan malam hari.
Semenjak kepergian Brandon dan Jiggy beserta dengan preman-preman yang mereka bawa, aku hanya bisa duduk di lantai ruangan itu sembari menyandarkan punggungku di dinding. Bajuku mulai kering setelah disiram oleh air beberapa jam silam. Air mataku mulai tumpah begitu aku melihat sosok Abel yang masih belum sadar. Pukulan Brandon sepertinya cukup keras pada Abel sehingga ia hanya bisa tersungkur di lantai. Aku beberapa kai memanggil nama Abel, namun ia tak merespon sama sekali.
Kenapa? Kenapa semuanya bisa jadi seperti ini?
Aku mulai sesenggukkan. Rasanya putus asa melihat segala hal yang terjadi kepada kami belakangan ini. Aku merasa bersalah pada Abel. Lihat saja, sedari tadi ia terus-terusan jadi santapan empuk amarah Brandon dan Jiggy. Sekarang, Abel bahkan tak sadarkan diri.
Kalau bukan karena rencana-rencana yang kusarankan padanya, kami tidak akan disekap di tempat ini. Akulah yang menyebabkan semua ini. Mulai dari rencana untuk melabrak Jiggy, rencana untuk membuntuti Brandon, mencuri ponsel Brandon sampai rencana membobol ruang dosen.
Dan sekarang, akibat rencana-rencana yang kusarankan itu, kami malah semakin terjebak di skandal ini. Semua orang menganggap kami manusia bodoh yang menyontek selama ujian, menekan teman dekat kami hingga bunuh diri dan begitu desperate untuk membuktikan nama baik dengan membobol ruang dosen. There’s nothing left that we have. Kalau sampai di drop out, aku dan Abel akan kehilangan semuanya.
“Hiks,” isakku sembari tertunduk lesu. “Sorry, Bel. I’m so sorry.”
Selama beberapa saat, hanya ada suara tangisanku di gudang itu. Semua ini benar-benar melelahkan sekaligus menguras mental. Rasanya aku ingin lompat ke jurang terdekat dan melepaskan diri dari kenyataan yang ada.
“Rene, jangan nangis.” Terdengar suara parau Abel. “It’s too early to give up.”
Ucapan optimis itu sontak membuatku berhenti menangis. Aku nyaris tidak percaya begitu melihat Abel yang sudah sadar. Terus terang, ia tidak terlihat baik-baik saja. Kepalanya berdarah dan wajahnya lebam akibat pukulan yang diberikan oleh Jiggy dan Brandon, tapi sorot matanya masih terlihat bersemangat.
“Bel!” teriakku penuh rasa khawatir. “Lo baik-baik aja?”
“Ugh, nggak. Kepala dan badan gue sakit banget.” Abel menjawab sembari berusaha bangkit dari posisinya yang menempel dengan lantai. “Udah berapa lama gue nggak sadar?”