Begitu kami keluar dari gudang tempat kami disekap, rupanya waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah lima pagi.
Setidaknya aku bisa bernapas lega. Kami masih punya waktu untuk menghadiri sidang tersebut. Gudang yang dipilih Brandon letaknya berada di luar perkotaan, dan terus terang, kami butuh waktu cukup lama untuk mandi dan pergi ke sidang kampus, tapi terlambat hadir di sidang jauh lebih baik ketimbang tidak menghadiri sidang sama sekali. Baik aku dan Irene disekap dalam waktu yang cukup lama. Aku dihajar beberapa kali sampai kehilangan kesadaran, dan Irene butuh waktu beberapa jam untuk melepaskan ikatan tangannya. Untungnya, berkat ikatan Irene yang lepas, Irene punya kesempatan untuk melepaskan ikatan di kaki dan ikatan di tanganku. Irene menemukan alat pemadam kebakaran di ujung gudang, dan menghancurkan jendela dengan menggunakan alat tersebut. Kami kemudian kabur dari gudang dan segera mencari pertolongan terdekat.
Sayangnya, kunci mobil, dompet dan ponselku diambil oleh Brandon. Alhasil, tidak ada banyak hal yang bisa kulakukan. Aku dan Irene menunggu di tengah jalanan, dan mulai memanggil-manggil taksi yang lewat untuk mengantar kami ke rumah masing-masing.
“Bel, sepertinya kita punya masalah lain sekarang.” Di tengah perjalanan kami, Irene bersuara dengan suara parau. “Ponsel gue juga diambil Brandon. Kita mungkin bisa muncul di sidang kampus, tapi kita nggak punya bukti untuk membela diri.”
Aku melirik ke arah Irene. Gadis itu biasanya selalu terlihat tegar dan kuat, namun kali ini ia terlihat lemah. Dari ujung mataku, aku bisa melihat jemari gadis itu gemetaran. Aku tidak kaget melihat hal ini. Memangnya cewek mana yang bakal baik-baik saja setelah diculik dan disekap selama sehari?
“Trust me, Rene.” Aku menggenggam jemari gadis itu, berusaha menenangkannya. “Lebih baik lo balik ke rumah, mandi dan temui gue sebelum sidang nanti. Jangan khawatir tentang itu.”
Irene hanya menatapku dengan pilu. Sepertinya kejadian ini menorehkan luka yang mendalam di hatinya. Aku kemudian merangkul bahu gadis itu dan membiarkan Irene bersandar di bahuku.
Setelahnya, kami hanya diam tanpa suara di dalam taksi sembari saling berpegangan tangan sampai tujuan kami.
***
Seperti dugaanku, begitu kami sampai di auditorium tempat sidang kampus berlangsung, sidang sudah dimulai.
Ruangan auditorium itu sudah ramai dihadiri banyak pihak media massa dan juga beberapa mahasiswa umum yang mendapatkan kesempatan untuk melihat sidang tersebut. Gila, daripada sidang, sepertinya acara ini lebih pantas disebut sebagai konferensi pers. Dari luar pintu auditorium, aku bisa melihat meja yang terletak di panggung utama tengah diduduki oleh Rektor Dwi, Pak Reihan, Bu Anna serta beberapa dosen lainnya, sementara Brandon dan Jiggy duduk di meja tengah ruang auditorium. Meja itu bahkan terlihat seperti ruang persidangan. Seakan-akan orang yang duduk di sana adalah tersangka kasus dan para dosen adalah hakim skandal kejadian ini.
Baik Brandon dan Jiggy terlihat percaya diri. Melihat bahwa sidang sudah dimulai sedari tadi, sepertinya para dosen memutuskan untuk mengambil kesimpulan bahwa aku dan Irene kabur dari sidang ini karena tidak punya pembelaan sama sekali. Skala sidang ini terlalu besar untuk menunggu orang seperti diriku dan Irene.
“Kami telah melakukan banyak investigasi untuk memastikan bahwa skandal ini bisa diselesaikan dengan seadil mungkin. Kami sangat memahami kekhawatiran pihak umum terhadap pihak Universitas Garuda Internasional.” Pak Reihan mengambil alih jalannya sidang, sepertinya beliau sudah menjelaskan beberapa hal teknis mengenai kejadian ini. “Kami tidak punya bukti konkret akan keterlibatan Jiggy Avellino dan Brandon Halim, sementara dua mahasiswa lainnya, yakni Abel Daniswara dan Irene Riadi, tidak menghadiri sidang meski sudah mendapatkan undangan untuk membersihkan nama baik mereka. Mengingat berita yang tengah beredar mengenai kecurigaan keterlibatan mereka dengan aksi bunuh diri salah satu mahasiswi di kampus ini, bisa diasumsikan bahwa kedua orang tersebut tidak punya itikad baik untuk memberikan pembelaan, dan sepertinya memang terlibat di skandal kemarin.”
Aku langsung mendelik begitu mendengar ucapan subjektif tersebut. Sialan, Pak Reihan pastinya berencana untuk membantu Brandon dan Jiggy lolos dari skandal ini. Aku tidak akan membiarkannya lolos begitu saja.
“Saya nggak terima dengan asumsi itu.” Di tengah-tengah ruangan yang mulai ramai, aku memutuskan untuk merebut mic dari salah satu panitia yang bertugas untuk menyalurkan mic tersebut kepada para penonton yang ingin memberikan pertanyaan. Aku menatap tajam ke arah Pak Reihan. “Saya juga ingin memberikan pembelaan. Saya punya beberapa hal yang ingin saya tunjukkan dan sampaikan. Apa boleh saya maju ke panggung?”
“Abel? Irene?”
“Maaf kami terlambat.” Aku bisa merasakan seluruh sorot mata orang-orang di ruangan tersebut kini beralih padaku dan Irene. “Saya akan menjelaskan juga alasan kenapa saya bisa terlambat. Tolong beri saya kesempatan untuk memberikan penjelasan.”
Baik Jiggy dan Brandon langsung panik begitu ia melihat sosok kami berdua yang terlihat kepayahan. Sepertinya mereka berdua tidak menyangka bahwa aku dan Irene bisa kabur dari gudang yang mereka siapkan.
Pak Reihan menyela terlebih dahulu. “Sikapmu benar-benar patut dipertanyakan Abel. Kalian berdua datang terlambat dan bahkan mengganggu jalannya acara persidangan ini.”
“Saya benar-benar minta maaf, Pak.” Aku berusaha menunjukkan sikap baik di depan banyak orang. Pak Reihan sialan, sepertinya ia berniat menghalangiku karena sudah disogok oleh Brandon. “Tapi saya benar-benar bisa menjelaskan semua hal ini. Tolong beri saya kesempatan.”
Aku menghela napas, berusaha menahan amarah ketika melihat gelagat Pak Reihan yang sepertinya sudah bersiap untuk memanggil security untuk mengusirku dari auditorium. Namun, sebelum Pak Reihan sempat berbicara, Rektor Dwi langsung menyela. “Abel Daniswara, kamu bilang kamu punya penjelasan dan bukti?”
“Ya, Pak.”
“Kalau begitu maju ke depan. Jelaskan ke kami semua. Kalau penjelasanmu tidak masuk akal, kami akan langsung memberikan hukuman.”
Yes! Aku menatap Irene yang langsung sumringah begitu mendengar titah Rektor Dwi. Kini Pak Reihan tak bisa melawan. Aku dan Irene langsung maju ke panggung, menyambungkan ipad-ku dengan monitor layar agar bisa menampilkan bukti-bukti yang kumiliki.
Baik Brandon dan Jiggy langsung pucat begitu melihat tindakanku itu. Aku tersenyum puas. Mereka pasti berpikir kalau mereka sudah berhasil melucuti semua barang bukti yang kumiliki, tapi mereka tidak tahu aku cukup pintar untuk memindahkan semua bukti tersebut ke tempat yang lebih aman. Pada dasarnya, aku memang berencana untuk menyiapkan presentasi khusus yang berisikan kompilasi bukti-bukti yang ada, jadilah aku memindahkan semua barang bukti ke ipad-ku.
Begitu aku berada di atas panggung dan tengah bersiap berbicara di depan mic, tiba-tiba saja aku menyadari sosok orang yang juga duduk di area penonton auditorium.
Thomas.
Gila, aku tidak salah lihat. Thomas duduk di ujung kursi ruangan sembari menatapku dengan tatapan tajam. Untuk apa dia datang kemari? Tapi baguslah. Setidaknya aku bisa membongkar semua tindakan Thomas tepat di depan matanya. No hard feelings, Thom. You were the one who started all of this.
Aku menghela napas panjang, dan akhirnya mulai menekan clicker di layar monitor.
“Selamat pagi semuanya. Perkenalkan, nama saya Abel Daniswara dari jurusan manajemen bisnis internasional. Di sebelah saya, ada teman saya, Irene Riadi yang juga berasal dari jurusan yang sama. Seperti yang kalian semua ketahui, belakangan ini kami berdua terus terlibat di berita yang kurang mengenakkan.” Aku memegang mic dengan percaya diri, kemudian melanjutkan penjelasanku. “Saya meminta maaf akan keterlambatan saya hari ini. Saya tahu ini acara yang sangat penting, tapi ada alasan mengapa saya bisa terlambat hadir di acara hari ini. Saya akan menjelaskan semuanya secara runtut.”