Januari, 2001…
***
Bagaimana kamu bermula?
Itu pertanyaan yang kerap muncul di kepala dalam empat tahun awal kehidupanmu. Sama seperti pertanyaan skeptikal manusia-manusia lainnya semacam,
“Di mana ujung alam jagad raya?”
“Apakah Tuhan benar ada? Jika Ia Pencipta, lalu siapa yang menciptakannya?”
“Bagaimana jika Hawa tak pernah muncul? Akankah kita juga akan ada?”
Pokoknya, tanda tanya seperti itu yang kamu sendiri kesulitan menemukan jawaban. Lalu, dengan polosnya dirimu bertanya tanpa dosa dan mata membulat, satu jari masuk ke dalam hidung untuk menggali upil.
“Ibu, anak bayi datang dari mana?”
Ibumu yang sedang mengiris cabe sembari menonton telenovela ‘Marimaaar… Aw!’, seketika menghentikan kegiatannya dan menoleh padamu dengan mata yang sama bulatnya. Hanya saja, tatapan yang dipancarkan agak terkejut. Tak menyangka bahwa bocah yang ia lahirkan sekitar empat tahun yang lalu sudah bisa bertanya se-tabu itu.
Jadi, ibumu memutar otak selama sepuluh detik, mengabaikan adegan Marimar yang sedang berlari sambil menangis-nangis di pinggir pantai karena difitnah telah mencuri perhiasan oleh Angelica, sang mertua yang sangat jahat dan culas.
Kata ibumu, “Bayi keluar dari perut Ibu.”
Di lain waktu, ibumu akan menjawab dengan sangat diplomatis,
“Bayi datang saat dua orang, laki-laki dan perempuan, menikah.”
Terkadang, jawabannya juga asal-asalan karena sebal kamu bertanya-tanya tanpa jeda.
“Adik bayi keluar dari timun! Semua anak bayi itu milik Raksasa dan hanya anak bayi yang baik yang diambil oleh manusia. Jadi, kalau kamu tak bisa diam, Ibu kembalikan kamu ke Raksasa! Seperti Timun Mas!”
Alih-alih menjadi takut, kamu justru jadi berpikir; Jika kamu tak mau dikembalikan ke Raksasa, mungkin kamu bisa mencoba jawaban ibu yang kedua. Yakni menikah dengan seorang temanmu yang juga masih ingusan.
“Kenapa kita harus menikah?” tanya temanmu.
“Supaya kita bisa punya bayi dan tak dikembalikan ke Raksasa jika kita nakal,” jawabmu.
Temanmu lantas menggeleng, tak paham.
“Aku nggak mengerti.”
“Bayi itu dari timun milik Raksasa dan cuma bisa dipunyai sama orang yang sudah menikah,” ujarmu menjelaskan.
Sayangnya, temanmu menolak.
“Nggak mau. Aku punya adik bayi dan tiap hari dia eek sembarangan. Eek-nya bau dan menangis tiap malam. Aku tak mau punya adik bayi lagi.”
Ah, temanmu pergi. Tapi, kamu masih tetap santai sebab kamu masih punya sepuluh teman cadangan untuk diajak menikah. Syukurnya, dari sepuluh temanmu yang sama ingusannya, ada satu yang cukup konyol untuk mau diajak menikah.