Skenario Kedua

Er Lumi
Chapter #3

3. Sang Pemecah Dinding

Januari, 1997…

***

Ya.

Kamu tak salah membaca judul. Pasalnya, yang ku maksud ‘Sang Pemecah Dinding’ itu adalah dirimu.

Maka akan aku jelaskan lebih rinci, kalau-kalau, kamu belum paham. Silahkan duduk manis, siapkan popcorn dan segelas cola-eh, jangan. Cola itu tak baik untuk organ tubuhmu. Jadi kusarankan segelas susu hangat atau air putih. Lalu dengarkan baik-baik.

Ini… ehem… aku bingung menyebutnya apa, tapi kehidupanmu bermula dari bentuk Kecebong Kecil dari pihak manusia jantan —Iya, ayahmu tentu saja— berbulan-bulan sebelumnya. Jujur saja, kamu bukanlah satu-satunya Kecebong Kecil itu, jadi jangan terlalu bangga.

Kamu bersama Kecebong Kecil lainnya berkumpul di sebuah ruangan selama beberapa waktu. Bermain gundu, bermain kartu, bergosip, membully Kecebong lainnya, meneliti zat nuklir, menanam pohon kaktus, berkampanye untuk Pemilu. Pokoknya apapun lah yang bisa dikerjakan untuk membunuh waktu di ruangan tersebut.

Hingga akhirnya, sebuah raungan alarm muncul yang memberi tanda bahwa kalian semua harus bersiap untuk bergegas keluar dari ruangan.

Bersiap…

Sedia…

Dan lari, eh, maksudnya berenang. Kan, kamu masih berbentuk Kecebong Kecil.

Dengan rasa bahagia, cemas, sekaligus penasaran, dirimu terus berenang dan berenang melalui pipa untuk mencari celah cahaya. Di depan dan di belakangmu tak luput dari banyaknya kecebong lain yang mencoba saling salip. Saling sikut. Seolah lupa mana kawan, mana lawan. Semua ingin menemukan jalan keluar.

Tapi, tak semua beruntung. Ada yang mati kelelahan lalu mengambang di langit-langit pipa. Ada yang terlalu berambisi hingga menabrak dinding pipa dan ada pula yang nampaknya ogah-ogahan dan bersantai menyesap kopi di tepi pipa itu seraya memandang kalian yang tengah berlomba. Berujar;

“Lihat sekumpulan kecebong tolol itu. Mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi.”

Meski begitu, kamu telah terikat dalam perjanjian, jadi mau tak mau, kamu tetap terus maju. Dan setelah detik-detik perjuangan yang mendebarkan sekaligus melelahkan, kamu terpana.

Di depan sana ada sebuah bola merah berserat raksasa. Yang menjadi tujuanmu serta tujuan kawananmu yang lain. Yang lebih dulu tiba, terus mencari celah untuk menerobos bola raksasa tersebut. menabrak dan menghantam dinding luar bola, bagaimana pun caranya. Sayang sekali, mereka semua gagal. Benar-benar gagal dan berakhir secara mengenaskan.

Melihat itu, sempat membuatmu menciut, ingin mundur. Jadi, aku menyadarkanmu mengenai ‘SKENARIO KEDUA’ ini.

“Majulah,” kataku, “Bukankah sudah ku sebut pada poin kedua bahwa kamu akan selamat dari apa-apa yang dapat membahayakan nyawamu? Maka, majulah terus.”

Bagusnya, kamu menurut. Sambil mengambil ancang-ancang dan menelan ludah, kamu memberanikan diri untuk meluncur dengan cepat. Dengan mata terpejam. Mengantisipasi kemungkinan paling terburuk.

Lihat selengkapnya