Skenario Kedua

Er Lumi
Chapter #6

6. Mengubah Memori

Januari, 2007…

***

Satu minggu yang lalu adalah ulang tahunmu yang ke-sepuluh dan kamu mendapat sepatu baru dari tantemu, jam tangan yang berbentuk Doraemon dari nenekmu serta sebuah kabar dari ibu yang berbunyi seperti ini;

“Kak, dengar,” ujarnya menatapmu lekat-lekat, “Sekarang Kakak sudah besar, jadi Ibu mau bilang sesuatu.”

Kamu mengangguk meski tetap menatap penuh tanya.

Lanjut ibumu, “Ibu dapat kerja di tempat yang jauh. Jadi, mau tak mau, Ibu harus pindah kesana. Kakak mau ikut dengan Ibu atau mau tetap di sini dengan Nenek?"

Kamu diam dan berpikir. Semenjak tragedi pertama, seolah seluruh hidupmu nyaris terenggut. Ayahmu tak pernah ditemukan dan itu membuat ibu menangis terus menerus setiap malam selama satu setengah tahun. Kamu menjadi teramat kurus dan tak terawat sehingga kamu dalam pengasuhan nenek beserta tantemu.

Ngomong-ngomong soal tragedi itu; si bayi yang ditinggal mati sang ibu, pada akhirnya dibawa oleh tiga orang yang mengaku sebagai keluarga dari pihak ibunya setelah memperlihatkan akta, surat-surat serta bukti foto sehingga meyakinkan petugas untuk bisa melepas bayi itu kepada orang yang tepat dan bukannya penculik anak.

Lalu, kembali pada ibu, kamu pun mengajukan tanya juga.

“Apa nanti kita bisa tetap kesini, Bu?”

Ibumu mengangguk, “Kalau hari raya atau libur panjang, kita akan tetap ke rumah Nenek.”

Maka kamu pun mau. Perasaan sempat terpisah dari ibumu saat tragedi Tsunami tiga tahun yang lalu benar-benar menakutkan sehingga kamu tak ingin pisah dalam kondisi apapun. Dan hal yang segera kamu lakukan ialah; Mengepak semua barang dan pakaianmu ke dalam koper besar serta sebuah ransel. Sedangkan ibumu sibuk pulang pergi untuk mengurus kepindahanmu serta memberitahu RT setempat.

Satu minggu adalah waktu yang cepat saat kamu berdebar akan sesuatu. Seperti hari ini, di mana kamu duduk di salah satu kursi pesawat yang akan mengantarmu beserta ibu ke pulau seberang. Yang ibumu harap akan menjadi;

“… titik permulaanku untuk berjuang lagi dari awal,” ibumu beralasan seperti itu tatkala nenek terus bertanya mengapa kalian hendak pindah.

Maka disinilah kamu berada sekarang. Duduk di sebelah jendela pesawat dengan sabuk terikat di pinggang kecilmu serta coklat batang di tangan kanan. Menatap bentuk kehidupan agraris yang semakin lama semakin mengecil layaknya miniatur skala 1 : 1.000.000. Kemudian, bergerak naik perlahan hingga menembus gumpalan awan. Lalu untuk pertama kalinya, kamu bisa melihat awan di bawah hidungmu.

Tapi kamu tak takut pada ketinggian sebatas awan. Kamu lebih takut pada ombak air yang menyamai ketinggian awan. Itu pula yang memunculkan trauma pertamamu.

Ngomong-ngomong, ibu sempat berbisik begini, “Kakak tau nggak, kalau kita bisa ambil awannya?”

“Awannya bisa diambil?” alismu naik seiring dengan membulatnya matamu.

“Iya. Tapi kalau sudah diambil, langsung dimasukkan ke dalam tas, ya. Jangan dilepas, nanti terbang lagi mencari Ibu awan.”

“Mau ambil sekarang bisa?”

“Bisa. Tapi, bilang dulu sama Pak Pilotnya buat parkir sebentar.”

Lihat selengkapnya