“Ah, aku jadi tau kenapa tulisanmu nggak terlalu laku,” ucapmu sinis.
Aku mengangkat alis, “Kenapa?”
“Kamu terlalu membuat tokoh utamanya menderita, Er. Itu menjengkelkan untuk dibaca.”
“Benarkah? Tapi, di sinetron-sinetron itu yang ratingnya tinggi pasti yang tokoh utamanya paling menderita—”
“Itu, kan, di sinetron. Astaga,” sanggahmu, memutar mata.
Aku menyela, “… yang paling menderita, paling bodoh, paling miskin, paling jelek, paling—”
“Hei, hei, hei… Kamu niat menjadikanku tokoh utama tidak, sih? Katanya aku boleh melakukan apapun yang ku mau? Kenapa justru jadi seperti ini, sih?” kamu memprotes.
“Oke, maaf. Jadi, kamu mau cerita yang bagaimana?” tanyaku menawari.
Kamu nampak diam, berpikir. Berpikir… kalau kamu masih punya otak.
“Aku ingin kisah cinta remaja,” kamu tersenyum dan buru-buru menambahkan, “Kisah cinta yang manis, ya. Awas, kok, kalau aneh-aneh!”
***
Di sebuah istana berarsitektur Yunani, berlantai dua dan terdapat sebuah mobil di garasinya, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari;
Bapak, Emak, dan empat anak yang tak lain adalah Papa, Ibu, A, B, C, dan kamu.
Untuk tak membuat ambigu, mari kita namakan para saudara tirimu dengan nama yang lebih panjang. A yaitu Ayam. B yaitu Bebek, dan C yaitu Curut. Lalu kamu, ya, tetap kamu.
Masih ingat tidak, dulu kamu pernah merengek-rengek meminta adik bayi sampai-sampai kamu nekat untuk menikah dengan teman sepermainanmu? Ingat, kan. Nah, sekarang kamu memiliki saudara. Tiga pula. Bukankah itu luar biasa?
“Luar biasa, muatamu!” lagi-lagi, kamu mengumpat secara tak sopan.
“Hei, bicara yang cantik,” tegurku.
“... !!!” kamu mengumpat semakin parah. Ya, sudahlah.
Kembali pada hikayat; kalian yang masih berstatus anak di bawah umur, tak memiliki banyak pilihan selain menuruti hukum yang berlaku dari pengadilan serta terpaksa patuh pada orang tua. Ada banyak alasan yang mendasari, salah satunya karena kalian belum bisa menghasilkan cukup uang untuk diri kalian sendiri.