Skenario-nya

Rokho W
Chapter #2

Keresahan


Pagi itu, aku masih duduk di ruang tamu kontrakan, mencoba menghitung sisa bahan dagangan yang bisa kupakai untuk jualan hari ini. Aku masih memikirkan kekhawatiran semalam, tentang uang kontrakan dan penghasilan yang tak menentu. Namun, suara salam dari luar membuyarkan lamunanku.

“Assalamualaikum…”

Aku segera bangkit dan membuka pintu. Ternyata, encing Tatik, buliknya Marwan, berdiri di depan pintu dengan senyum ramah. Tangannya membawa kantong plastik, sepertinya berisi sesuatu.

“Waalaikumsalam, encing, ayo masuk,” ajakku sambil mempersilakannya duduk di atas karpet di depan televisi kecil kami.

Setelah duduk, encing membuka obrolan dengan santai.

“Ratna, besok di rumah encing ketempatan pengajian. Ratna bisa bikin jajanan apa aja?” tanyanya.

Aku sedikit terkejut, tapi langsung berpikir cepat. Ini rezeki yang datang tanpa diduga. Sebelum aku sempat menjawab, Marwan muncul dari arah belakang, masih mengenakan kaos dan celana panjang, belum bersiap berangkat mengojek.

“Eh, encing, dah lame ncing?” ucapnya sembari menghampiri dan mencium tangan encing.

“Enggak, baru aje. Ecing mau pesen kuenya Ratna 200 pcs bisa, Ratna? Nanti macem-macemin aja, terserah Ratna,” katanya sambil menyodorkan dua lembar uang merah kepadaku.

Aku terkejut. 

“Bisa, encing. Insya Allah besok pagi udah siap.”

“Bagus, deh. Oiya, Awan, mau pegi kemane? kamu mau ngojek, ade uang buat bensin nggak?” tanya encing tiba-tiba, lalu mengeluarkan selembar uang biru dari tasnya. 

“Ini encing ada sedikit rejeki buat Awan beli bensin.”

Aku melihat wajah Marwan sedikit canggung menerima pemberian itu. Tapi akhirnya ia menerimanya dengan senyum kecil.

“Makasih, ncing. Awan jadi ngerepotin encing,” ucapnya tulus.

“Enggak ngerepotin, Wan. Ecing lagi ada rejeki lebih aje buat Awan,” jawabnya ringan. 

“Yaudah ye, encing Tatik pamit balik dulu. Besok pagi encing ke sini lagi ngambil pesenannya.”

“Siap, encing,” jawabku semangat, mengantarnya sampai pintu.

Saat encing pergi, aku masih terdiam sejenak, mencerna kejadian barusan.

“Ecing itu baik ya, Bang. Tau aja kalau kamu nggak ada uang buat beli bensin,” ucapku sambil mulai mengambil bahan untuk membuat adonan pesanan encing.

Marwan tak langsung menjawab. Ia menghampiriku dan menyodorkan uang biru pemberian encing Tatik.

“Dek, ini buat kamu aja. Aku minta dua puluh ribu aja buat bensin,” ucapnya tiba-tiba.

Aku terhenti, menatapnya heran. 

“Nggak kurang apa, Bang? Nanti siang kamu makan apa pas narik?” tanyaku khawatir.

“Cukup, Dek. Dua puluh ribu itu buat aku makan dan bensin.”

Ia berkata dengan yakin, seolah-olah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi aku tahu, dalam diamnya, ia selalu berusaha lebih untukku.

“Ya sudahlah…” kataku akhirnya, tak ingin memperpanjang perdebatan.

Marwan tersenyum kecil, lalu bergegas keluar untuk memanaskan motornya. Aku hanya bisa memandangnya dari balik pintu dapur, sementara tanganku mulai sibuk mengaduk adonan pesanan encing Tatik. Dalam hati, aku berbisik, Terima kasih, ya Allah. Engkau selalu punya cara menghadirkan rezeki di saat yang tepat.

Lihat selengkapnya