‘Belajarlah dengan rajin. Fokus dan konsentrasi. Jangan ribut, jangan bersuara. Jika tidak, nenek karung akan mengambilmu.’
Abang adik bersaudara tengah mengerjakan tugas sekolahnya di ruang belajar. Yang satu terlihat seperti anak kelas 5 SD, sedang satunya lagi terlihat masih sekitar kelas 1 atau 2. Bukan fokus, keduanya malah asyik bergurau, sesekali bertikai layaknya anak-anak dan adik kakak pada umumnya. Suara berisik mereka dapat didengar oleh ibu yang sedang memasak di dapur.
“Adik! PR-nya sudah selesai, belum?!” seru ibu nyaring, hanya disahut singkat oleh abang dan adik dari ruang belajar. “Iya, Bu!”
Tiba-tiba, seorang nenek muncul mengetuk jendela kaca ruang belajar. Abang dan adik yang terkejut segera memanggil ibu. “Bu! Ada orang di luar!”
Ibu sedikit tersentak seraya mengecilkan api kompornya, lalu mengelap tangan dan bersegera menuju ke depan. Letak dapur dengan ruang belajar tidak jauh. Sebelum mencapai ruang tamu, ibu perlu melewati pintu ruang belajar terlebih dahulu. Pada saat itulah, belum sampai ke ruang tamu, melalui pintu ruang belajar yang terbuka ibu sudah dapat melihat seorang nenek dari balik kaca jendela yang melambai dan tersenyum padanya.
Wanita paruh baya berambut kucir sebahu itu bingung, nyaris tercenung. Dia lanjut melangkah ke ruang tamu dan membuka pintu untuk menghampiri nenek. Berbasa-basi menanyakan keadaannya serta mempersilakannya masuk. Akan tetapi, nenek itu tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri dengan tubuhnya yang bungkuk sambil memegang karung kumuh yang terlihat penuh. Dia mengangguk beberapa kali sembari tersenyum dengan bibir berkerut, tanda gigi di dalamnya sudah tak banyak lagi tersisa. Setelah itu, dia izin melangkah pergi.
Ibu berdiri kebingungan di depan pintu. Tak henti menatap punggung sang nenek yang berjalan pelan-pelan meninggalkan pekarangan rumahnya. Tak lama kemudian, ibu memutuskan menutup pintu dan kembali ke dapur. Bubur kacang hijau yang dibuatnya sudah matang. Dia bersiap menghidangkannya di atas meja makan dan memanggil abang dan adik.
“Abang! Adik! Ayo kita makan dulu!”
Dua anak laki-laki tersebut melangkah cepat keluar dari ruang belajar dan duduk di meja makan bersama ibunya. Raut mereka masih terlihat riang oleh bekas canda tawa tadi. Namun sekilas, entah mengapa ibu merasa seperti ada sesuatu yang berbeda. Wujud mereka terasa berat dan sedikit gelap. Semakin lama ibu memperhatikan, semakin suram aura mereka. Sampai keduanya berhenti bergerak dan menatap ibu menggunakan mata hitam dan tatapan yang kosong.
Video selesai begitu saja.
Deti memegangi kaset video tua itu erat-erat sambil menunggu antrian di dalam toko. Sebuah toko koleksi karya bergenre horor. Di depannya, rak tinggi berjejer memajang buku-buku, komik, dan kaset film horor terbaru.
Dari sebelah, dia berbicara dengan Refni, teman sekelasnya yang beberapa lama lalu muncul.
“Kamu benar-benar menontonnya?” tanya Refni, gadis berkerudung putih yang masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu.
“Yah,” jawab Deti singkat, karena kini sudah gilirannya maju ke meja kasir untuk mengembalikan beberapa kaset video yang dia pinjam minggu lalu. Di meja itu, Yusri, ayah Refni menyambut.
Toko tersebut dikelola oleh ayahnya Refni. Selain menjual buku-buku, komik, dan kaset film terbaru, mereka juga menyewakan kaset-kaset film tua yang langka, dan Deti menjadi pelanggan mereka beberapa waktu belakangan ini.