Sudah 5 tahun sejak kejadian hari itu. Deti tak pernah lupa, masih jelas dalam ingatannya, terutama saat dia bertemu lagi dengan Refni. Walau sudah bertemu ratusan kali pun. Bayangan itu seolah menjadi hawa tersendiri yang dibawa oleh Refni setiap kali bertemu dengan Deti.
Siang itu, Refni baru saja kembali dari rumah sakit selepas menjenguk ayahnya, Yusri. Dua bulan yang lalu, Refni mendapati keanehan pada diri ayahnya yang tiba-tiba tak pernah bicara lagi. Hanya terdiam duduk di kursi meja kasir dan menatap kosong ke arah pintu toko. Sehingga tak ada lagi pengunjung yang ia layani. Sebelum itu, Yusri tak kunjung pulang ke rumah selama dua hari. Tak ada kabar dan tak bisa dihubungi, karena itulah Refni datang ke toko untuk mengecek keberadaan ayahnya dan mendapati kondisi tersebut.
Di rumah sakit, Yusri didiagnosa mengalami stroke. Lalu sekarang, kondisi keluarga ikut memburuk. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Refni-lah yang harus menggantikannya. Selama dua bulam, dia banting setir dengan melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Semua demi mencapai pendapatan yang cukup untuk biaya hidup, kontrakan rumah, rumah sakit, dan sekolah adik-adiknya. Namun kenyataannya, dia tidak sanggup dan benar-benar kesusahan. Sementara kedua adiknya masih duduk di bangku SMP dan belum bisa mengerjakan apa-apa.
Kemudian, setidaknya satu solusi terlintas di kepala Refni untuk sedikit meringankan bebannya, yaitu pindah ke rumah toko milik ayah. Semenjak Yusri sakit, rumah itu kosong dan tak ada lagi yang merawatnya. Refni pikir, dengan pindah ke rumah itu mereka tidak perlu kesusahan membayar biaya kontrakan lagi. Dia sudah membicakan hal ini dengan adik-adiknya. Saat ini, dia datang untuk melihat-lihat keadaan di rumah itu, di mana di perjalanan dia bertemu dengan Deti dan akhirnya mengobrol di sini, di teras rumah Deti.
“Aku tahu kamu susah. Tapi, kalau harus pindah ke rumah itu, kamu yakin?”
Menanggapi pertanyaan itu, Refni terdiam resah.
“Gila, ya! Aku masih ingat kejadian waktu itu. Padahal itu siang, lho. Tapi bisa-bisanya. Tahu, nggak? Semenjak kejadian itu, aku tidak tertarik lagi dengan film horor! Muak, sudah muak!” ujar Deti saat terbayang lagi kejadian yang membuatnya masih trauma. Lantas dengan gelagat ogah-ogahan ketika Refni meminta bantuannya untuk melihat kembali rumah itu bersama.
“Cahaya biru di matanya itu benar-benar menyeramkan. Ih, mengerikan sekali, mengerikan. Ref, sebenarnya di rumahmu itu ada apa, sih?”
Benar saja, Refni juga tidak tahu apa-apa. Sebenarnya dari kecil, Refni dan dua orang adik laki-lakinya tinggal di rumah kontrakan di kecamatan sebelah. Bukan di rumah yang ada toko buku itu. Pernah tinggal di sana. Namun sejak usia SD, Yusri tiba-tiba membawa mereka pindah ke rumah kontrakan tanpa alasan yang pasti. Sehingga, mereka harus membayar biaya kontrakan rumah setiap setahun sekali.
Sehari-hari, Yusri pergi ke rumah itu untuk menjaga toko, dan sorenya akan pulang ke rumah kontrakan dan tinggal bersama mereka. Sebagian besar biaya hidup didapat dari hasil penjualan di toko. Karena selain menjaga toko, Yusri juga merupakan seorang direktur penerbitan yang cukup sukses di waktu itu. Sayangnya, tak ada ketertarikan sama sekali di benak anak-anaknya untuk meneruskan pekerjaan ayahnya itu. Refni melanjutkan kuliah ke jurusan akuntansi dan bekerja di perusahaan lain, sedangkan adik-adiknya masih abu-abu. Sementara sang ibu sudah meninggal lebih dulu beberapa tahun yang lalu.
Deti menatap Refni lama dengan ekspresi ngeri sekaligus berpikir. Tampaknya memang tak ada solusi lain yang lebih baik selain solusi yang diutaraan Refni saat itu. Rasanya kasihan juga.
“Terserahlah, Ref, kalau memang kamu yakin ini solusi yang tepat. Lagian, itu kan memang rumah milik kalian sendiri. Aku bantu doa saja, semoga kalian tinggal aman di rumah itu.”
***
Skuter merah yang dikendarai Refni sampai di pekarangan rumah toko milik ayah. Deti turun di belakangnya beserta bawaan dua kantong plastik besar berisi barang milik Refni yang dibawa pindah. Hawa rumah yang telah kosong menyambut, rumah lebar bercatkan putih jingga itu, di mana pada bagian kirinya terdapat pintu toko besi berwarna cokelat yang telah lama tertutup rapat. Memandang sebentar saja rasanya bulu kuduk Deti sudah merinding. Seolah akan ada yang muncul menakutinya seperti yang pernah terjadi. Dia ingin segera pamit pulang. Akan tetapi, perhatiannya teralih pada dua orang remaja laki-laki yang sedang duduk di tembok teras. Adik kembarnya Refni, Randa dan Nanda.
“Wah, mereka sudah besar, ya,” ujar Deti, karena walau sudah sering kali berjumpa dengan Refni, Deti jarang sekali bertemu dengan adiknya Refni, bahkan mungkin sudah terhitung bertahun-tahun.
“Sudah kelas tiga SMP,” sahut Refni, sembari melangkah menuju teras, mendekati kedua adiknya. Randa dan Nanda memang sudah lebih dulu berangkat ke situ menggunakan transportasi umum. Dengan membawa barang-barang besar, seperti dua tas ransel dan koper yang kini tergeletak di lantai.
“Barang-barang aman, kan?” tanya Refni. Nanda mengangguk, sedang Randa menyeletuk seraya menyenggol sedikit koper besar berwarna hitam di sampingnya. “Barangmu banyak sekali, Kak. Bawa apa aja, sih? Diary tentang mantan dibuang aja, kek!”
“Ish!” geram Refni menjotos kecil Randa di pundaknya.
“Anu,” seru Deti kelihatan tak mau lagi mengulur waktu. Dia meletakkan dua kantong yang dipegangnya di ambang teras. “Aku sampai di sini saja, ya. Pulang dulu, daaah!” ujarnya kemudian, langsung melongos pergi.
Ketiga bersaudara yang masih berdiri di teras itu hanya melihati. Terutama Refni yang seketika tercenung. Sampai sebegitunya Deti parno dengan rumah ini. Refni jadi memandang sebentar ke arah sisi-sisi rumah. Berniat memantapkan hatinya sekali lagi dan melupakan semua kenangan buruk yang pernah terjadi.
Tidak apa-apa, tidak ada yang perlu ditakuti, pikir Refni. Selama tidak ada yang ditakuti, maka tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Dia ingat dengan perkataan Ustaz di tempat mengajinya dulu. Makhluk gaib itu, semakin kita takuti semakin dia berani. Maka, jangan takut.
Lamunan sesaatnya diakhiri oleh pertanyaan bernada miring dari Randa yang sepertinya sudah kepanasan dengan cuaca di luar.
“Tunggu apa, Kak? Sudah minta kuncinya sama Mbak Mika?”
“Sudah, nih.” Refni merogoh saku blouse hitam yang dikenakannya untuk mengambil kunci, lalu bersegera memasukkannya ke lubang pintu.
Kemudian, dua pintu berwarna cokelat itu pun terbuka. Ketiganya melangkah masuk bersama sembari membawa barang bawaan. Tampaklah pemandangan seisi rumah yang sudah lama tidak mereka lihat, namun masih terasa familiar. Tak seperti dugaan sebelumnya, rumah itu ternyata bersih, seperti baru saja dibersihkan. Lantai, dinding dan langit-langitnya bahkan bersih tanpa sarang laba-laba. Semerbak bau lemon menyambut, bau cairan pel lantai.
Lalu tiba-tiba, muncul suara seseorang dari belakang tubuh mereka yang membuat mereka nyaris serentak terkejut.
“Sudah sampai, ya? Kalian pasti lelah. Mbak sudah bersihkan rumahnya kemarin, supaya kalian tidak perlu susah-susah lagi bersihkan. Tinggal simpan barang-barang dan istirahat,” ujar seseorang itu, Mbak Mika, wanita paruh baya berkerudung biru muda dan berkulit sao matang, yang kini berdiri di ambang pintu sembari tersenyum memperlihatkan giginya ke arah mereka.
Mbak Mika merupakan tetangga sekaligus kerabat dekat orangtua mereka. Mbak Mika sudah paruh baya. Selalu dipanggil Mbak karena orang sekitar sudah biasa memanggilnya dengan panggilan itu. Refni cukup kenal dengan Mbak Mika karena sewaktu kecil pernah tinggal di sini dan ketika besar juga sering mampir. Berbeda dengan Randa dan Nanda yang hanya sekadar tahu bahwa Mbak Mika merupakan salah satu kerabat. Benar saja, dua remaja lelaki itu mengalihkan perhatian Mbak Mika.
“Ini si kembar? Sudah besar sekali, ya? Makin sombong. Dari kecil sampai sekarang tidak pernah datang menyapa Mbaknya.”
Celetukan itu membuat Randa dan Nanda sedikit menekuk dan tersenyum sungkan, tak tahu harus menjawab apa.