Sudah beberapa kali Refni mengangkat tangan mengelap peluh di dahi juga leher di balik kerudung hitamnya. Sambil sibuk mengentri data di komputer milik kantor. Kota Pekanbaru memang sudah terkenal dengan cuaca yang cukup panas. Semakin siang hawa panasnya makin menyiksa. Sial lagi, siang ini AC di ruangan itu sedang rusak.
Salah satu rekan kerjanya, Fajri, dengan wajah riang datang membawa kipas angin yang ia culik dari ruang perlengkapan untuk dipasangkan di ruang karyawan. Lebih tepatnya di dekat meja Refni agar gadis itu tidak lagi kepanasan. Setiap kali melihatnya, Refni selalu berpikir tentang apa lagi yang akan dilakukan oleh lelaki itu untuk mengganggu dirinya. Akan tetapi, kali ini rasanya perlakuan lelaki itu bermanfaat juga.
Kini, setelah selesai menyalakan kipas anginnya, Fajri beralih menarik salah satu kursi dan duduk di samping Refni, menatap sambil tersenyum semringah.
“Refni-ku tidak boleh berkeringat, nanti bedaknya luntur, he-he,” ucapnya. Refni hanya mendengkus kecil dan kembali fokus pada pekerjaannya, melupakan ucapan terima kasih yang harusnya dia lontarkan. Sudah biasa terjadi.
“Bagaimana keadaan di rumah barumu, Ref? Maksudnya, rumah yang kamu tinggali sekarang.”
“Biasa saja,” jawab Refni singkat. Seperti biasa juga, walau direspons acuh tak acuh, Fajri tetap melanjutkan obrolan dengan senang hati.
“Bagaimana toko ayahmu? Apa kamu berniat melanjutkan usahanya? Dia pasti akan senang melihat usahanya dilanjutkan oleh anak-anaknya, kan? Ini juga bisa jadi usaha sambilanmu dalam mencari penghasilan tambahan.”
Sekian banyak pertanyaan terlontar, hanya dijawab satu kata oleh Refni, “Entahlah.”
Gadis itu malas. Selama dia bekerja di sini, sudah satu tahun lebih dia didekati Fajri melalui ocehan panjang seperti itu. Fajri memang hampir sama seperti Mbak Mika, sama-sama banyak bicara. Bedanya, Fajri hanya melakukan itu pada Refni. Alasannya karena lelaki itu menyukai Refni. Sayangnya, Refni acuh karena menurutnya, cinta merupakan hal yang tidak penting dilakukan jika masih miskin.
Kali ini, pandangannya teralih fokus ke arah ruang packing, di mana tampak dua sampai empat orang karyawan tengah menyusun ribuan eksemplar buku yang sudah selesai dicetak dan bersiap untuk disebar ke toko-toko buku. Hal itu membuatnya terpikir lagi akan perkataan Fajri tadi. Teringat akan toko buku di rumahnya.
Tempat ia bekerja ini ialah sebuah perusahaan percetakan buku. Entah memang sudah takdir keluarganya berkecimpung di lingkungan perbukuan. Dari ayahnya yang bekerja di usaha toko buku dan dirinya yang kini bekerja di perusahaan percetakan. Punya relasi dengan percetakan kini, mungkinkah bisa membuatnya mampu membuka usaha toko buku ayahnya lagi?