Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 286 menerangkan bahwa; "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya."
Lalu, bagaimana dengan gadis berusia 24 tahun yang menjalani 12 Kali Operasi, Lumpuh, Gagal Ginjal dan menjadi ABK seumur hidup?!
“Mama, Dede capek. Ayo bunuh dede! Dede mau pulang ke tempat A Megi."
Apakah permintaanku terlalu berat?!
***
Kamis, 09 Januari 2020.
Bukan Kanker, bukan HIV, apalagi Covid-19, tetapi kenapa harus di Operasi sebanyak 12 kali?!
Awalnya aku berpikir ini bukanlah penyakit berbahaya, bukan penyakit mematikan, apalagi penyakit menular, tetapi kenapa harus sampai di amputasi?!
Kecelakaan kecil 10 tahun lalu, hanya membuat kaki kiriku melepuh terkena panas mesin motor. Itu bukanlah peristiwa besar yang membahayakan nyawa. Namun, mengapa terus berlarut-larut?!
Bukankah beberapa orang juga pernah merasakan panas mesin motor?! Tidak sengaja menginjak knalpot itu sudah menjadi hal yang lumrah, bukan?!
Akan tetapi, kenapa hanya aku yang harus kehilangan kaki kiriku?! Bukankah ini terdengar tidak adil?!
“Dek, namanya siapa?”
Pertanyaan yang selalu aku dengar setiap didorong masuk ruang operasi. Satu ruangan yang didominasi warna putih cerah dengan deretan lampu dan peralatan medis berjejer rapi.
“Siti Mega Meliani, Dok.”
Jawaban yang sudah melekat jauh dalam ingatan, tak lupa disertai dengan senyuman seakan aku merasa senang.
Mungkin memang benar demikian adanya, karena para Dokter dan Perawat akan berjuang demi kesembuhanku.
Sayangnya tidaklah sesederhana itu!
Sungguh, aku mengetahui sudah berapa kali tubuh ini memasuki ruangan dengan bau obat menguar. Obat yang selalu aku minum 3 kali sehari. Obat yang menjadi makanan pokok dan tamengku bertahan hidup.
“Masih sekolah, Dek? Kelas berapa?”
“Sudah lulus, Dok.”
“Lulus SMP?”
“Bukan. Saya sudah lulus SMA, Dok.”
Percakapan singkat dan dialog yang berulang dengan sedikit perbedaan. Pernah aku menjawab kelas 5 SD, 6 SD, 1 SMP, 2 SMP, 2 SMA, hingga saat ini lulus SMA.
Aku tidak sedang bercanda!
Itu adalah fakta yang tak tertulis. Namun, benar adanya. Kebenaran yang sempat terpikirkan sebagai kenyataan pahit.
Sangaaat amat pahit!
Sampai pernah dengan sadar tanganku meraih pisau untuk menggores urat nadi sendiri. Aku ingin menjemput kematian sebelum waktunya.
“Wahh kirain anak SMP.”
“Bukan, Dok.”
“Kemarin dapat peringkat nggak di sekolahnya, Dek?”
Tidak jarang pula mereka menanyakan hal lain dengan mengajakku mengobrol sambil menunggu Dokter Spesialis bersiap.