Aku ingin bercerita ...
Dalam sebuah kalimat yang menggambarkan isi hatiku
Dalam sebuah kisah yang menjadi kenangan terindah
Dalam sebuah buku yang tak akan lapuk dimakan usia
(Mega Kembar)
***
Kisah ini kudengar langsung dari Mama dan Bapak.
Di kantin pabrik, Mama--Maisha--yang merantau ke kota untuk mengikuti jejak keluarganya berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah PT. Industri.
Setiap jam istirahat, Mama selalu mengajak temannya pergi ke kantin. Sebut saja dia Ningsih. Saat mereka menikmati hidangan mie rebus, ada pegawai dari department lain datang menyapa.
“Mau apa?” tegur Ningsih.
Sementara Mama hanya terdiam, malas berurusan dengan pria, tukang tebar pesona. Sebut saja mereka Aldi, Bapakku--Juandi--dan Arjuna.
“Galak amat kamu, Ning. Kita cuman mau kenalan sama temen di sebelah kamu itu."
Sadar bahwa yang dimaksud adalah dirinya, Mama melengos dan beranjak kembali ke departementnya. Samar terdengar suara bertanya;
"Ningsih, yang tadi itu namanya siapa?”
“Ih, tanya saja sendiri,” ketus Ningsih.
Mama mendengus. Dalam hati mungkin mengumpat, “Bodoh. Ningsih itu suka sama kamu, Juan.”
Yap! Menurut sudut pandang Mama, mereka terlibat dalam kisah cinta segi empat. Di mana Ningsih menyukai Bapak, sedangkan Bapak menyukai Mama dan Mama tertarik pada Arjuna.
Tapi cinta tidak pernah salah memilih. Cinta tahu ke mana harus pulang.
***
Setelah pertemuan itu, Bapak mulai mendekati Mama dengan mengirimkan surat tulisan tangan. Semula Mama mengabaikannya, tapi rasa nyaman itu mulai mematik api cinta.
Sayangnya, Mama tidak menjelaskan cara mereka menjadi sepasang kekasih. Aku menyimpulkan, mungkin zaman dulu hanya tentang komitmen tanpa pernyataan cinta langsung.
Mama hanya bercerita, bahwa ada moment berkesan sebelum pernikahan mereka.
Pertama adalah tentang kepeditan Bapak.
Berbeda dengan pria lain, saat proses pendekatan itu, Bapak menjadi diri sendiri dengan sifatnya yang pelit. Jangankan memberi hadiah, nonton bioskop pun tidak pernah.
Saat mendengar ceritanya, aku menegur. “Loh, kok Mama mau sih sama Bapak?! Padahal mantan Mama yang di Bandung aja ada yang rela bayarin biaya kursus menjahitnya Mama."
“Namanya jodoh, Dek. Pasti selalu ada jalan. Enggak akan ketuker."
"Hm gitu, ya?!" Aku menompang dagu berpikir. "Tapi sayang banget Mama enggak dapet suami yang kaya raya."
"Ya, kalau bukan Bapak. Dede enggak akan ada."
Aku tertawa canggung, dan Mama tersenyum lembut, lalu berkata, "Lagian Bapak pelit juga ada alasannya, Dek."
"Apa, Mah?"